Artinya dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggung jawab atas dirinya. (hak hadonah)
Undang-undang Republik Indonesia tidak menetapkan secara sepakat tentang batas usia dewasa. Bisa jadi perbedaan-perbedaan batas usia dewasa ini bukanlah merupakan hal yang salah, asalkan dalam peruntukannya sesuai dengan konteks keperluannya. Misalnya untuk keperluan pemilihan umum maka yang dipakai adalah undang undang pemilihan umum, untuk perlindungan anak maka yang dipakai adalah Undang Undang Pelindungan Anak dan untuk pernikahan adalah Undang Undang pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Undang Undang Pernikahan tidak disebutkan berapa batasan terkecil dari umur seorang wali, yang disebutkan adalah batasan dari seorang anak yaitu 18 tahun. Adanya syarat seorang wali nikah hanya ada dalam KHI , yaitu aqil dan baligh. Sedangkan aqil balig menurut KBBI adalah dewasa, sampai umur, bukan kanak kanak atau remaja. Hukum Islam membuat batasan dewasa (baligh) adalah dikatakan mukallaf, yaitu muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama. Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. Batasan dewasa atau baligh atau mukallap dalam hukum islam ada beberapa tandanya.
- Ihtilam,
Ihtilam adalah keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya. Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur‘an, dimana Allah ta‘ala berfirman :
وَإِذَا بَلَغَ ٱلْأَطْفَـٰلُ مِنكُمُ ٱلْحُلُمَ فَلْيَسْتَـْٔذِنُوا۟ كَمَا ٱسْتَـْٔذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَـٰتِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌۭ ٥٩
Dan bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin. (An Nuur: 59).
Dan hadits dari ali bin abi tholib
عن علي رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رُفِعَ الْقَلَمُ عن ثلاثة: عن النائم حتى يَسْتَيْقِظَ، وعن الصبي حتى يَحْتَلِمَ، وعن المجنون حتى يَعْقِلَ”.
Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam: Diangkat pena tidak dikenakan kewajiban pada tiga orang: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[2].
Ijma‘ ulama bahwa ihtilam merupakan tanda kedewasaan bagi laki-laki dan perempuan.
- Tumbuhnya Rambut Kemaluan.
Tumbuhnya Rambut kemaluan menjadi pertanda baligh menurut mayoritas ulama madzhab dari kalangan Hanbali, Maliki dan Syafi‘i. Berdasar kepada hadits nabi
عَنْ عَطِيَّةَ الْقُرَظِيِّ قَالَ عُرِضْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظَةَ فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّيَ سَبِيلُهُ فَكُنْتُ مِمَّنْ لَمْ يُنْبِتْ فَخُلِّيَ سَبِيلِي
Athiyyah berkata: Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam pada hari Quraidhah, di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan [3].
Dari riwayat diatas, menunjukkan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang. [4]
- Mencapai Usia tertentu menurut hitungan kalender Hijriyah.
Kalau seorang anak tidak mengalami fase ihtilam bagi lak-laki dan keluarnya darah haidh bagi perempuan maka kedewasaan dilihat dari usianya mencapai 15 tahun menurut madzhab Syafi‘i, Hanbali, sebagian pengikut madzhab Maliki dan sebagian pengikut madzhab Hanafi. Sedangkan madzhab Dzahiri berpendapat apabila berusia 19 tahun. Dalil yang dianggap paling shahih dan sharih oleh ulama yang memberikan batasan usia yang dibawakan dalam permasalahan ini adalah hadits
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْهُ وَعَرَضَهُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَهُ
Dari Ibnu ‘Umar ra., ia berkata:. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku.[5]
Pandangan masyarakat, apabila seorang wali itu belum menikah, tidak boleh menikahkan atau jadi wali. Penulis dalam hal ini mengambil kesimpulan dengan menjadikan saudara kandungnya yang belum menikah sebagai wali dengan pertimbangan usia paling rendah dalam menetukan dewasa dalam hukum islam yaitu umur 15 tahun. Dengan mengacu kepada kaidah “izha ijtama amroni min jinsin wahidin wa lam yakhtalif maksuduhuma dahola ahadu huma fil akhori gholiban artinya: “Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain.” Kaidah ini dipahami bahwa apabila ada dua perkara yang masuk kepada yang lain, maka cukup dikerjakan salah satu yang lebih besar dari dua perkara tersebut, karena sebenarnya yang lebih besar itu telah mencakup yang lebih kecil. Seorang yang berhadats kecil dan hadats besar (junub), maka cukup bersuci dengan mandi saja. “ jika diambil bagian yang paling besar dari sesuatu maka yang paling kecil sudah merupakan dalam bagian yang paling tersebut. Umur dewasa mulai 15 tahun maka, orang yang umurnya sudah melewati 15 tahun juga sudah termasuk dewasa. jadi mementukan 15 tahun sudah termasuk yang lainnya. Bahkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia ukuran seorang dewasa adalah berumur 15 tahun.[6] Kedua Adanya wali dalam pernikahan hanya ada dalam pernikahan yang sesuai dengan hukum islam, maka penentuan dewasanya wali harus seuai dengan hukum islam karena sah pernikahan adalah sesuai dengan agama dan kepercayaaan masing masing.
- Mentaati Undang Undang
Pernikahan dengan wali akrab dicatatkan dengan wali ab ad adalah usaha untuk mentaati perundang undangan terutama dalam Undang Undang Pernikahan. Tujuannya benar tetapi jalan yang ditempuh tidak benar. Karena dalam undang undang syarat seorang dewasa adalah umur 18 tahun. Jika mempelai wanita diam, tidak memberitahukan yang sesungguhnya tentang wali nikahnya kepada KUA, maka mereka akan menikah dengan wali ab ad, pernikahan mereka tidak sah jika wali akrabnya masih ada, yang jelas jelas itu tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.
Pencatatan pernikahan yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan masing masing tentu saja tidak sesuai dengan Undang Undang, tujuan salah dan jalannya juga salah. Penulisan akta nikah pada kolom wali nikah paman dan dilaksanakan dengan saudara kandung tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan tersebut, tetapi pencatatan peristiwa pernikahan tersebut menyatakan bahwa peristiwa pernikahan itu memang ada dan terjadi. Kaidah fikih mengatatakan ’tasorruful imam ’ala ro’iyah manutun bilmaslahah’ . “ kebijakan pemimpin ( pemerintah) terhadap rakyatnya dikaitkan dengan kemaslahatan.” Pencatatan diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak sebagai warga negara. Hal tersebut merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh negara untuk warga negaranya karena Perkawinan adalah perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh pasangan yang bersangkutan dan tentu menimbulkan konsekuensi yuridis yang sangat luas. Berkaitan dengan hal tersebut, dokumen yang dihasilkan dari pencatatan perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.