Jodoh selalu menjadi topik yang menarik dan penuh pertanyaan bagi manusia. Apakah jodoh harus diusahakan atau cukup menunggu? Apakah jodoh sudah ditetapkan, ataukah kita bebas memilih? Haruskah jodoh kita sekufu (setara) dalam berbagai aspek? Dan kapan kita bisa yakin bahwa seseorang adalah jodoh kita?
Berbagai pertanyaan tersebut kerap muncul karena pembahasan tentang jodoh sering kali dianggap ambigu dan kurang mendapat penjelasan yang jelas. Maka dari itu, penting untuk mengetahui beberapa miskonsepsi umum tentang jodoh dalam Islam.
- “Ah, Jodoh Akan Datang dengan Sendirinya”
Banyak orang beranggapan bahwa jodoh akan datang tanpa usaha, cukup dengan menunggu dan berpasrah. Padahal, kejelasan lafal pada QS. An-Nisa: 3 yang berbunyi:
فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diberi kebebasan dan tanggung jawab untuk memilih pasangan hidupnya. Maka dari itu, jodoh adalah takdir yang perlu diusahakan, bukan sekadar ditunggu.Lantas, bagaimana cara mengusahakan jodoh? yakni, Berdoa dan meminta petunjuk kepada Allah agar diberikan pasangan yang baik. Kemudian, memperbaiki diri agar mendapatkan jodoh yang juga baik.
Selanjutnya, mempersiapkan diri, baik secara mental, emosional, maupun finansial bagi laki-laki. Bagi perempuan, jika sudah menemukan calon yang cocok, tidak ada salahnya untuk mengambil langkah awal sebagai bentuk usaha, seperti yang dilakukan oleh Khadijah ketika tertarik kepada Rasulullah SAW.
- “Jodoh Selalu Membawa Kebahagiaan”
Banyak orang berpikir bahwa setelah menikah, hidup akan selalu bahagia. Padahal, pasangan hidup juga bisa menjadi ujian, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal: 28:
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌۭ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌۭ
“Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah ujian dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Dari ayat ini, jika dikaitkan dengan konsep jodoh, pasangan hidup, termasuk istri atau suami, bisa menjadi ujian dalam kehidupan. Ujian ini bisa berupa kesabaran dalam menghadapi perbedaan, kesetiaan, atau kemampuan menyeimbangkan antara dunia dan akhirat dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dalam mencari jodoh, hendaknya kita berdoa kepada Allah agar diberikan pasangan yang membawa kebaikan dan bukan sekadar pelengkap kebahagiaan duniawi semata.
- “Jodoh harus sekufu”
Miskonsepsi lain yang sering muncul adalah anggapan bahwa jodoh harus sekufu atau setara dalam segala aspek. Dalam I’anatut Thalibin disebutkan bahwa sekufu itu adalah mu’tabarotun laa lishohhatihii, sekufu itu adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam memilih jodoh bukan syarat utamanya (wajib).[1] Beberapa orang mengira sekufu adalah hal yang wajib dilakukan, padahal sekufu itu adalah sebuah anjuran dalam memilih jodoh.
Sebenernya pula, hak untuk menolak ketidakskufuan tadi merupakan hal perempuan dan walinya.jika sang wali atas dasar pertimbangan sekufu tidak sekufu, ia tidak setuju akan hal itu, maka sah-sah saja ketidaksetujuan tersebut berdasarkan fikih. Syeikh Utsman juga menyebutkan 5 hal yang menjadi pertimbangan ketika memilih jodoh.
أَنَّهَا سِتٌّ وَهِيَ: الْحُرِّيَّةُ، وَالْعِفَّةُ، وَالنَّسَبُ، وَالدِّينُ، وَالسَّلَامَةُ مِنَ الْحِرَفِ الدَّنِيئَةِ، وَالسَّلَامَةُ مِنَ الْعُيُوبِ. وَبَعْضُهُمْ عَدَّهَا خَمْسًا وَأَدْرَجَ الْعِفَّةَ فِي الدِّينِ
“(kriteria) kaf’ah itu ada enam, yaitu: kemerdekaan, kehormatan (kesucian), keturunan (nasab), agama, selamat dari pekerjaan hina, dan selamat dari cacat (fisik atau mental)..”
Pertama, الحرية (Al-Hurriyyah) – Kemerdekaan. Dahulu, dalam masyarakat Arab, perbedaan antara budak dan orang merdeka menjadi pertimbangan dalam kafa’ah. Saat ini, poin ini dapat dimaknai sebagai perbedaan status sosial dan tingkat pendidikan seseorang.
Kedua, العفة (Al-‘Iffah) – Kehormatan (Kesucian). Seseorang yang menjaga kehormatan dirinya tidak sekufu dengan orang yang tidak menjaganya. Dalam konteks pernikahan, pasangan yang memiliki ‘iffah biasanya akan lebih menjaga komitmen dan kesetiaan dalam rumah tangga.
Ketiga, nasab. Seorang wanita yang berasal dari keturunan terhormat (seperti sayyidah, keturunan Nabi) dianjurkan untuk menikah dengan pria yang memiliki kedudukan yang tidak terlalu jauh agar terhindar dari kemungkinan penghinaan atau ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Ketiga, pekerjaan. Profesi calon suami juga menjadi pertimbangan agar ia mampu memenuhi nafkah istrinya. Wanita dari keluarga terhormat dianjurkan untuk menikah dengan pria yang pekerjaannya tidak dianggap hina dalam masyarakat.
Keempat, الدين (Ad-Din) – Agama. Faktor yang paling ditekankan dalam Islam adalah kesalehan dan ketaatan beragama. Dalam hadis disebutkan bahwa seseorang dianjurkan untuk memilih pasangan karena agamanya, karena faktor ini yang akan membawa keberkahan dalam rumah tangga. Para ulama tidak sekufu dengan orang awam dalam hal ilmu agama.
Kelima, لسلامة من الحرف الدنيئة (As-Salamah min Al-Hiraf Ad-Dani’ah) – Selamat dari pekerjaan hina. Disebutkan bahwa pekerjaan merupakan hal yang penting jika ingin melihat sekufu atau tidak sekufunya seseorang. Dalam masyarakat terdapat strata pekerjaan, seperti pekerjaan terhormat dan tidak terhormat. Terhormat seperti pekerjaan yang membawa ilmu, dan tidak terhormat , semisal yang berhubungan dengan rambut dan mencukur.[2]
Keenam, السلامة من العيوب (As-Salamah min Al-‘Uyuub) – Selamat dari cacat (fisik atau mental). Cacat yang bisa mempengaruhi hubungan suami istri (seperti penyakit menular berat atau gangguan mental yang menghambat hubungan) bisa menjadi alasan yang sah untuk pertimbangan sebelum menikah..
Pada akhirnya, konsep jodoh dalam Islam bukanlah sesuatu yang bisa dipahami dengan cara yang sederhana. Ada beberapa miskonsepsi yang perlu diluruskan. Seperti, Jodoh tidak datang dengan sendirinya, tetapi perlu diusahakan dengan doa, usaha mencari, dan memantaskan diri.
Jodoh tidak selalu membawa kebahagiaan, karena pernikahan adalah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian. Serta jodoh tidak harus sekufu dalam segala hal, meskipun kafa’ah bisa menjadi pertimbangan, tetapi yang utama adalah keimanan dan ketakwaan.
REFERENSI:
Al-Bakri, Utsman bin Muhammad Shatha Ad-Dimyathi Asy-Syafi’i. I’anah At-Talibin ‘Ala Hall Alfazh Fath Al-Mu’in Bi Syarh Qurrat Al-‘Ayn Bimuhimmat Ad-Din. 3rd ed. Kairo: Dar al-Salam, 2012.
[1] Utsman bin Muhammad Shatha Ad-Dimyathi Asy-Syafi’i Al-Bakri, I’anah At-Talibin ‘Ala Hall Alfazh Fath Al-Mu’in Bi Syarh Qurrat Al-‘Ayn Bimuhimmat Ad-Din, 3rd ed. (Kairo: Dar al-Salam, 2012), 2345-2346.
[2] Al-Bakri.