Menggali Makna Puasa: Perspektif Sejarah dan Filsafat.

Menggali Makna Puasa: Perspektif Sejarah dan Filsafat.

SEJARAH PUASA

Literatur tentang hukum dan hikmah puasa banyak tersebar di mana-mana.Tetapi, literatur tentang sejarah puasa tidak banyak dan tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Sementara keberadaan puasa di kalangan bangsa-bangsa sebelum lahirnya Islam sudah masyhur dan disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

 

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. 2/Al-Baqarah: 183)

 

Karena itu, sejarah puasa menarik untuk dibahas sebagai penjelasan dari ayat ini. Bahkan, dalam sejarah Islam sendiri pelaksanaan puasa itu tidak selamanya sama. Sekalipun intinya sama, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sepanjang hari, namun praktik-praktik yang mengitari inti puasa itu kadang kadang berbeda.

 

Dalam kitab-kitab fiqih, sejarah puasa tidak banyak dijelaskan.Dalam Tarikh Tasyri sekelumit dari sejarahnya disebutkan bahwa puasa bulan Ramadhan itu diwajibakan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijrah.Dalam kitab-kitab tafsir sejarah puasa terpaksa dijelaskan sebagai tafsir untuk ayat tersebut.Namun demikian, dari sejumlah kitab tafsir, Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha yang memberikan penjelasan yang agak panjang tentang puasa umat-umat terdahulu.Kemudian, menyusul Tafsir al-Mizan karya Thabathabai memberikan keterangannya.

 

Namun, ketika berbicara tentang riwayat puasa Islam sebelum disyariatkannya puasa sebulan pada bulan Ramadhan, dengan mudah ia mengatakan bahwa riwayat-riwayat itu daif (lemah). Sebagai mufasir Syiah, Thabathabai menuduh riwayat itu berasal dari kaum Sunni. Penulis beruntung memiliki kitab Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuh karya Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi Ternyata, buku ini memberikan penjelasan yang agak panjang dan berisi informasi tambahan informasi dari kitab-kitab lainnya. Karena itu, sumber tulisan ini pada dasarnya adalah Tafsir al-Manar, kitab Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuh, Tafsir al-Mizan, Al- Kitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), dan Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama.

 

Dalam buku tersebut diterangkan, ketika menafsirkan ayat tentang puasa umat-umat sebelum datangnya Islam, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa puasa diwajibkan atas pengikut agama sebelum lahirnya Islam.Puasa menjadi salah satu rukun dari setiap agama karena puasa termasuk ibadah yang berat dan media yang paling baik untuk memperbaiki akhlak.Allah memberi tahu umat Islam bahwa puasa diwajibkan juga atas umat umat sebelumnya untuk menunjukkan bahwa agama-agama itu satu asalnya dan tujuannya serta meneguhkan keadaan wajibnya, dan menyenangkan hati umat Islam menerima wajibnya.Sebab, suatu tugas yang memang sudah lazim berlaku sebelumnya lebih mudah diterima daripada tugas yang baru dan belum pernah diwajibkan sebelumnya.

 

Dalam menerangkan ayat ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang berpuasa sebelum Islam itu.Namun, sudah dimaklumi bahwa puasa telah dilakukan oleh seluruh penganut kepercayaan, termasuk penyembah berhala.Misalnya, puasa diketahui adanya di kalangan orang-orang Mesir kuno pada masa keberhalaan mereka.Dari sana, syariat puasa pindah kepada orang orang Yunani. Mereka menjadikannya wajib terutama atas kaum perempuan.Demikian juga orang-orang Romawi mewajibkan puasa dirinya sampai sekarang.Hindu penyembah patung pun melaksanakan puasa sampai sekarang.

 

Al-Jurjawi mengutip keterangan DR. Ali Abdu al-Wahid bahwa pengkajian tentang sejarah agama-agama menunjukkan bahwa puasa termasuk ibadah manusia yang paling tua dan paling banyak tersebar di seluruh dunia.Menurutnya, hampir tidak ada suatu agama yang dianut masyarakat yang terlepas dari kewajiban berpuasa.

 

Ada puasa yang dinisbatkan kepada Nabi Daud, yaitu puasa sehari berbuka sehari.Di kalangan Yahudi, puasa pada hari perdamaian atau Grafirat adalah wajih.Lamanya satu hari penuh, mulai terbit hingga tenggelamnya matahari.Orang yang melanggarnya dihukum dengan dibunuh. Hal ini dijelaskan dalam Perjanjian Lama pada kitab Imamat (16: 29). “Inilah yang menjadi ketetapan untuk selama lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan.baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu.”

 

Tentang hukuman mati bagi orang yang tidak merendahkan diri dengan berpuasa disebutkan pada kitab Imamat (23: 29, 30), “Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya.Dan Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari tengah tengah bangsanya.”

 

Dalam Perjanjian Baru, puasa dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang biasanya dikaitkan dengan suatu keperluan, misalnya untuk persiapan menerima firman Tuhan. (Keluaran 34: 28; Daniel 9: 3), sebagai tanda penyesalan atau pertaubatan individual maupun bersama-sama (1 Raja-Raja 21: 27), dan sebagai tanda kedukaan (1 Samuel 31: 13).

 

Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun dan mengatakan bahwa jenis setan tertentu tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa. Hal ini tersebut dalam kitab Matius 4: 1-2 dan 17: 19-21, “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus” “Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka “Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itul la berkata kepada mereka “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ito, Pindahlah dari tempat ini ke sana, maka gunung itu akan pindah dan takkan ada yang mustahil bagimu. Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.”

 

 

Dalam Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama dijelaskan bahwa dalam tradisi Katolik, pelaksanaan puasa diadakan 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu. Angka 40 mengingatkan akan 40 tahun bagi Israel menjelajah gurun sebelum masuk Tanah Suci: 40 hari Musa berada di Gunung Sinai, dan terutama lamanya Yesus berpuasa selama 40 hari. Masa ini disebut Masa Prapaskah atau masa taubat dan persiapan diri untuk Hari Raya Paskah.Pada masa ini juga Gereja Katolik mengadakan Aksi Puasa Pembangunan.

 

 

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Hindu juga mengenal puasa.Puasa secara lahirnya menghentikan kegiatan makan dan minum.Puasa secara rohani ialah mengendalikan segala hawa nafsu.Dalam praktik, ada juga penganut yang mengaku Hindu sekarang ini yang puasanya dengan meninggalkan makanan berat, seperti nasi dan roti, sementara makan permen dan kue-kue tidak dilarang.

 

Di kalangan Buddha puasa disebut Attanga-sila. Bagi umat Buddha yang melaksanakan Attangasila, ia menghindari hubungan kelamin, tidak makan sebelum jam 06.00 dan telah jam 12.00, dan mengendalikan nafsu-nafsu indera yang rendah. Attangasila ini dilakukan umat Buddha setiap bulan tanggal 1,8, 15, 23 berdasarkan penanggalan bulan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *