Menggali Makna Puasa: Perspektif Sejarah dan Filsafat.

Menggali Makna Puasa: Perspektif Sejarah dan Filsafat.

 

Di kalangan orang lawa, konon sejak lama ada juga puasa untuk tujuan tertentu, seperti mencari kekebalan dan ilmu ghaib.Misalnya yang disebut dengan puasa mutih.Di kalangan perdukunan juga banyak jenis puasa.Demikianlah keberadaan puasa dari masa ke masa di berbagai agama dan bangsa. Adapun bentuk dan cara pelaksanaan puasa tidak semua sama. Ada puasa dalam bentuk tidak makan.tidak minum, tidak melakukan hubungan kelamin, tidak bekerja, dan tidak berbicara. Ada yang bentuknya dengan menahan diri dari salah satu atau sebagian saja dari semua yang disebutkan.Kata DR. Ali Abdu al-Wahid, mungkin puasa dari bicara merupakan yang paling aneh dari bentuk-bentuk puasa yang pernah ada.Namun demikian, bentuk puasa dari bicara ini tersebar di banyak masyarakat primitif dan lainnya.Di masyarakat penduduk asli Australia, wajib atas perempuan yang suaminya meninggal puasa dari bicara dalam masa yang panjang yang kadang-kadang sampai satu tahun lamanya.Tampaknya, puasa semacam ini pernah diikuti di kalangan Yahudi sebelum datangnya Yesus. Hal ini dipahami dari perintah Allah kepada Siti Maryam dalam Al-Qur’an surat Maryam ayat 26 yang berbunyi:

 

كُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ ۝٢٦

 

Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau.Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah.”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. 19/Maryam: 26)[1]

 

  • Sejarah Puasa Ramadhan

Sejarah puasa Ramadhan menurut Imam al-Qurthubi, seperti yang dikutip dalam buku “Misteri Bulan Ramadhan” karya Yusuf Burhanudin, menyatakan bahwa Nabi Nuh AS adalah orang pertama yang berpuasa pada bulan Ramadan. Nabi Nuh melakukannya setelah turun dari bahteranya setelah badai menghantam negeri kaumnya.
Puasa pada zaman Nabi Nuh dilakukan sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas keselamatan dirinya dan kaumnya dari badai dan banjir.
Sementara itu, saat Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah pada masa hijrah, beliau melihat orang-orang Yahudi juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram.Muhammad kemudian bertanya kepada salah satu dari mereka tentang alasan berpuasa, dan orang Yahudi menjawab bahwa mereka berpuasa sebagai bentuk syukur karena Allah telah menyelamatkan Nabi Musa AS dan kaumnya dari serangan Firaun.Nabi Musa AS kemudian berpuasa pada hari 10 Muharram sebagai bentuk syukur kepada Allah.
Nabi Muhammad SAW kemudian menjelaskan peristiwa tersebut kepada umatnya dan memerintahkan umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram.
Awalnya, siapa pun yang ingin berpuasa boleh melakukannya, dan siapa pun yang ingin membatalkan puasanya diperbolehkan dan hanya perlu menggantinya dengan memberi makan orang miskin.Namun akhirnya, Allah memerintahkan seluruh umat yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk berpuasa dan tidak boleh memilih untuk berbuka hingga matahari terbenam. Bagi mereka yang lanjut usia, masih diberikan keringanan untuk berbuka dengan syarat tetap memberikan makanan untuk orang miskin. Hal ini disebutkan dalam ayat yang tertulis:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
Sebelum turunnya ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan, umat Islam biasa berpuasa wajib pada tanggal 10 Muharram atau yang dikenal dengan hari Asyura.
Pertama kali diwajibkan untuk berpuasa oleh Allah SWT bagi umat Islam terjadi pada tahun kedua Hijriyah.Saat itu, Nabi Muhammad SAW baru saja menerima perintah untuk mengubah arah kiblat dari Baitul Maqdis di Palestina ke arah Masjidil Haram di Makkah.
Namun, pelaksanaan puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi umat Islam dilakukan secara bertahap.Seperti yang disebutkan dalam Alquran dan Hadits Nabi SAW.
Ayat yang menjadi dalil kewajiban puasa Ramadan terdapat dalam Al-Quran, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 183.
Allah SWT berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183)[2].

 

 

·                    FALSAFAH PUASA

 

Sebelum agama Islam lahir atau sebelum kedatangan Muhammad Saw., umat nabi yang lain telah mendapat kewajiban untuk berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh As. hingga Nabi Isa As. puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulan.Bahkan, Nabi Adam As. diperintahkan oleh Allah untuk tidak memakan buah khuldi.Para ulama menafsirkan kisah dalam Al-Qur’an tersebut bahwa secara tidak langsung perintah puasa sudah ada sejak nabi pertama, Nabi Adam.

 

Allah berfirman:

 

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۝٣

 

Dan Kami berfirman: “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada disana sesukamu.(Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!” (QS. 2/Al-Baqarah: 35).

 

Pohon yang dilarang Allah mendekatinya tidak dapat dipastikan, sebab Al-Quran dan hadits tidak menerangkannya. Ada yang menamakan pohon khuldi sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120, tapi itu adalah nama yang diberikan setan.

 

Begitu pula Nabi Musa As. bersama kaumnya, mereka disyariatkan oleh Allah untuk berpuasa selama empat puluh hari.Nabi Isa As. pun berpuasa. Dalam surat Maryam dinyatakan,

 

bahwa Nabi Zakaria As. dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud As. puasa sehari dan berbuka sehari setiap tahunnya. Nabi Muhammad Saw. sendiri, sebelum diangkat menjadi Rasul, telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama sebagian masyarakat Quraisy yang lain. Tidak ketinggalan juga masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah.banyak dari mereka yang turut mengamalkan puasa Asyura

 

Jika kita mau mencermati kehidupan di dunia binatang, sebenarnya mereka juga ikut berpuasa seperti halnya manusia.Bahkan mereka sangat rutin melakukan puasa demi kepentingan hidup dan kelangsungan hidupnya.Misalnya seekor ayam, binatang ini berpuasa selama beberapa hari untuk mengerami telur. Dia tidak mau makan apa pun selama berada di atas telurnya (mengerami telurnya).

 

Demikian pula ular, dia berpuasa untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras, terlindung dari sengatan terik matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata dan bergerak cepat di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika ditimbang dari segi kemanfaatan, pastilah puasa sangatlah mempunyai manfaat yang sangat luar biasa bagi siapa dan apapun yang menjalaninya.

 

Jika berpuasa merupakan sunnah thobi’ryyah (sunnah kehidupan) yang sudah sangat jelas manfaatnya bagi kehidupan semua makhluk di bumi, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memiliki makna tersirat dan hikmah tersendiri. Karena, buktinya puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, puasa juga berguna sebagai sarana muhasabah diri, atau mengevaluasi diri untuk bisa turut serta hidup berdampingan dengan orang lain secara selaras, harmonis, tidak ada rasa sombong bagi yang kaya. Yang lebih penting puasa bisa menghilangkan kecemburuan sosial.Di samping itu, puasa berguna untuk membekali diri dengan sikap tenggang rasa, toleransi menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surat al-Baqarah.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *