Menggali Makna Puasa: Perspektif Sejarah dan Filsafat.

Menggali Makna Puasa: Perspektif Sejarah dan Filsafat.

 

Allah Swt. memerintahkan:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

yang mempunyai uang sedikit, bahkan orang yang tak memiliki sepeser pun, tetap merasakan hal yang sama: yaitu lapar dan haus, karena itu adalah sifat manusiawi. Jika tidak ada puasa, mana mungkin orang yang kaya raya bisa merasakan hidup orang miskin, yang setiap hari mesti merasakan yang namanya lapar. Allah menurunkan puasa di dunia agar manusia bisa merasakan kehidupan yang berbeda satu dengan yang lain.

 

Dari sini, puasa tergolong ibadah yang memiliki banyak fungsi.Setidaknya ada tiga fungsi di perintahkannya puasa oleh Allah. Tiga fungsi tersebut antara lain adalah tazhib, tadib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan atau tahzib, membentuk karakteristik jiwa seseorang (tadib), serta sarana latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib).

 

 

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. 2/A1-Baqarah: 183).

 

Allah Swt. mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa dalam hal ini, Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya Wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” hampir sama dengan kata ittiqa, yakni menjaga diri dari segala bentuk nafsu bahimiyyah (kebinatangan) yang menjadikan perut sebagai tuhan.Dalam arti mementingkan perut kapan pun dan dimana pun. Dengan puasa, manusia akan terhindar dari perbuatan jelek yang dapat merugikan orang lain.

 

Agama Islam memandang sama semua derajat manusia di dunia, sebagai contoh, soal perut. Mereka yang memiliki uang banyak, atau

 

Ketiga hal tersebut yang pada hakikatnya bermuara pada tujuan akhir puasa yakni agar umat manusia menjadi umat yang bertakwa.Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

 

Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya “cinta” timbul dari rasa sakit.Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa.Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa.Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia yang hidup di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait dalam kehidupan, yaitu yang melihat dan yang buta, ada yang pintar dan ada yang bodoh, serta ada pula yang teratur dan yang mengejutkan.

 

Jika cinta antara orang kaya yang merasa lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam dirinya menemukan kekuasaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya akan menghidupkan hubungan bathin mendengar suara sang fakir yang merintih. la tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh atau direspon, akan makna tangisannya itu. Orang yang kaya harta akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, limaanan wahtisaaban, Yang semua ikhlas hanya karena alloh

[1] Ensikl;opedia pengetahuan al Qur’an dan Hadist , Tim Baetul Kilmah, Jakarta 2013

[2]https://sahabat.co.id/artikel/inspirasi/sejarah-puasa-ramadhan-asal-usul-dan-perkembangannya-dalam-islam-2

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *