Bulan Mukjizat
Sebagaimana bilangan bulan pada penanggalan Masehi (penanggalan umum) yang memiliki bilangan dua belas bulan, demikian pula dalam bilangan bulan kalender Hijriyah memiliki dua belas bulan. Awal dari bulan Hijriyah di mulai dari bulan Muharram. Di antara dua belas bulan itu ada empat bulan yang disebut sebagai bulan yang mempunyai nilai istimewa, yaitu bulan Rajab, Syakban, Ramadhan, dan Muharram sebagaimana diebutkan di dalam al-Qur’an.
Sangat mungkin nilai istimewa pada Muharram tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang pernah berlangsung di dalamnya. Hampir semua rasul-rasul dan nabi-nabi Allah mempunyai peristiwanya sendiri di bulan ini. Sebutlah beberapa rasul dan nabi misalnya, yaitu nabi Adam a.s yang memperoleh ampunan Allah SWT pada bulan ini setelah 300 tahun memunajat mohon ampunan. Bulan ini menjadi pertanda kenangan manis baginya.
Nabi Ibrahim pernah dijatuhi hukuman yang sangat berat oleh raja Namrud atas tuduhan menghncurkan tuhan-tuhan sesembahannya, yaitu di bakar dalam kubangan api yang sangat besar. Namun karena ketakwaannya kepada Allah SWT nabi Ibrahim sedikitpun tidak terbakar oleh api bahkan tidak dengan satu benangpun dari pakaiannya yang terkena jilatan api. Peristiwa ini juga terjadi di bulan Muharram.
Demikian pula pada peristiwa banjir besar yang menimpa kaum nabi Nuh. Sekian lama hingga 950 tahun lamanya berdakwah nabi Nuh hanya memperoleh sedikit pengikut, sekitar berjumlah 80 pengikut saja. Kaum nabi Nuh keras kepala dan tidak mau beriman dan mengikut nabi Nuh. Dari sekian lama itu akhirnya nabi Nuh memsrahkan perkara kaumnya kepada Allah SWT. Hingga merasa apapun yang disampaikannya kepada kaumnya hanya menghasilkan kesia-siaan. Bahkan kaum nabi Nuh menantang secara terbuka ancaman yang ditimpakan kepada mereka, kenapa ancaman itu juga belum datang.
Kejadian-kejadian di atas terjadi pada tanggal sepuluh bulan Muharram. Sepuluh Muharram di sebut dengan ‘Asyura. Pada bulan di tanggal sepuluh ini sebuah peristiwa penting saat nabi Musa dan bangsa Yahudi di selematkan oleh Allah SWT dari kejaran Fir’un di laut Merah. Di saat yang sama pula Fir’un dan bala tentaranya di tenggelamkan oleh Allah di laut tersebut. Oleh karenanya bangsa Yahudi mengenang selalu peristiwa ini dengan berpuasa sebagai rasa syukur.
Dapat dikatakan bahwa Muharram merupakan bulan karamat. Bulan penuh mukjizat. Bulan yang istimewa. Karenanya pada tanggal sepuluh Muharram nabi Muhammad selalu menyempatkan untuk berpuasa ‘Asyura sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dari beragam peristiwa para nabi dan rasul sebelum beliau. Kemudian diikuti (di dahului) dengan puasa Tasu’a (hari kesembilan di bulan Muharram) supaya ada beda dengan puasa yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi di tanggal dan bulan yang sama.
Bulan Sial Pernikahan
Di Nusantara khususnya di Jawa bulan Suro adalah bulan tuah. Bulan dalam sistem penanggalan Jawa ini adalah larangan atau pantangan bagi terjadinya pernikahan sehingga bulan ini dianggap memiliki aura yang bisa membuat suram bagi pasangan dalam perjalanan membina rumah tangga yang di idamkan. Kepercayaan ini sudah mengakar luas di masyarakat. Ada semacam energi spiritual yang kuat yang dapat mendatangkan sanksi yang mengancam tali hubungan suatu pasangan apabila dilaksnakan perkawinan. Oleh karenanya pada Suro ini tidak akan di temukan resepsi pagelaran beserta hiburan acara pernikahan.
Bila ditelisik kepercayaan tersebut berangkat dari pandangan bahwa pada Suro adalah bulan di mana para arwah leluhur kembali datang mengunjungi dunia. Jadi Suro ini bulan tenang, untuk memfokuskan pada laku-laku spiritual, seperti ritual-ritual, kirim doa, persembahan kepada sang kuasa yang dalam tradisi masyarakat muslim misalnya, seperti tahlil, baca al-Qur’an dan semacamnya. Di samping itu pula ada suatu pandangan bahwa Suro juga bulan-bulan masa paceklik dalam putaran sistem kalender Jawa sehingga bukan perbuatan yang patut apabila dilaksanakan suatu hajatan besar pernikahan.
Karena Suro juga adalah awal tahun baru dari kalender Jawa maka bulan ini adalah waktunya banyak bersyukur atas umur, kesehatan, dan kehidupan. Waktu untuk introspeksi, kontemplasi, dan renungan atas waktu dan prilaku yang sudah berlalu. Waktu pembersihan diri atas segala kemaksiatan dan keburukan.
Sifat spiritual, rasa prihatin bersama, dan kembali pada pembersihan diri ini menuntut pada pengekangan diri dari suka cita sementara sehingga bukan waktu yang pantas untuk bersenang-senang dengan dilaksakannya hajatan pernikahan. Melakukan ketidakpatutan akan dekat pada kesialan.
Sementara ada pandangan lain terkait dengan Suro ini. Masyarakat muslim Jawa Sebagian melihat bahwa Suro adalah Muharram dalam kalender Hijriah Islam. Muslim Jawa Sebagian mengaitkan dengan tragedi Karbala. Muharram menjadi momentum berdarah bagi umat muslim. Tahun 61 Hijriah bertepatan 10 Muharram (680 M) di padang Karbala, Iraq terjadi pembantain keluarga agung, yaitu sayyid Husain bin Ali dan keluarga. Husain adalah cucu dari Nabi Muhammad SAW. Bahkan tubuh sayyid Husain dengan kepala terputus dan dihinakan. Tahun ini adalah tahun dukacita umat Islam, tahun kesedihan.
Nabi Muhammad SAW dalam kesedihan, umat Islam dalam kesedihan mendalam, maka tidak sepatutnya dalam momentum duka cita umat ini kemudian ada tindakan egoistik sebagian orang bersenang-senang dalam pesta pernikahan, ia hanya mementingkan diri sendiri dan abai atas kondisi yang tengah di rasakan dan menyelimuti umat Islam.