“Penghulu” dalam Potret Pendidikan Masa Lalu

“Penghulu” dalam Potret Pendidikan Masa Lalu

Berbicara profesi penghulu tentu tidak akan lepas dari sejarah panjang masa lalu. Penghulu merupakan profesi yang secara eksistensi telah ada sejak era kerajaan Islam, era penjajahan kolonial Belanda-Jepang, era kemerdekaan dan tetap bertahan sampai era sekarang.

Posisi kedudukan penghulu saat ini secara nomenklatur mengacu pada PMA No 20 tahun 2019 yang menerangkan bahwa “Pejabat Fungsional Penghulu yang selanjutnya disebut Penghulu adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam”.

Dari nomenklatur tersebut jika dibandingkan dengan penghulu era kerajaan Islam dan era penjajahan kolonial Belanda jelas berbeda. Secara kedudukan wilayah kerja penghulu sedikit bergeser dari yang awalnya sebagai kodi (hakim) kemudian merangkap sebagai pemimpin agama (mufti) serta menjadi penasehat kerajaan dalam bidang keagamaan, sekarang cakupan wilayah kerja penghulu bergeser dan terkesan hanya terbatas sebagai sosok pegawai pencatat nikah saja walaupun secara regulasi cakupan otoritas keagamaannya masih tetap melekat. Mengapa demikian?

Tulisan sederhana ini penulis susun tidak untuk mengkaji gap yang terjadi antara wilayah kerja penghulu masa lampau dengan penghulu masa sekarang namun penulis lebih tertarik membahas tentang “sistem pendidikan penghulu” yang menurut catatan sejarah pada masa kerajaan mataram Islam terdapat madrasah atau sekolah khusus bagi calon penghulu. Sekolah tersebut menampung para calon penghulu untuk dididik dan belajar terkait bidang kepenghuluan sebelum sah menjadi seorang penghulu di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta.

Berangkat dari Madrasah Mamba’ul Ulum

Mengutip catatan Wisnu Fachrudin Sumarno dkk dalam artikel jurnal yang berjudul “Pasang Surut Penghulu sebagai Abdi Ndalem di Kasunanan Surakarta 1931-1937 M” dijelaskan bahwa awal mula kemunculan madrasah atau sekolah penghulu dilatarbelakangi atas keresahan pengaruh orang Eropa yang memasukan budaya barat serta adanya sekolah yang didirikan oleh zending dengan memiliki misi untuk melakukan kristenisasi di kalangan masyarakat Keraton dan sekitarnya. Pendirian sekolah zending tersebut membuat Sunan Pakubuwono X resah dan merasa terusik.

Pada 23 Juli 1905 atas usulan prakarsa penghulu Tafsir Anom V dan patih dalem Kangjeng Ario Sosrodiningrat dengan persetujuan dan dukungan penuh oleh Sunan Pakubuwana X Madrasah Mambaul Ulum (sumber ilmu pengetahuan) didirikan yang terletak di pawastren masjid agung Surakarta.

Mambaul ulum merupakan sekolah berbasis Islam dengan mengadopsi pembelajaran modern dan pendidikan pesantren, sehingga lazim disebut dengan madrasah. Tenaga pengajar Madrasah Mambaul Ulum sendiri adalah tenaga alim ulama, katib, naib, serta paradikan, yang menguasai agama Islam.

Madrasah mambaul ulum pada mulanya memiliki 11 kelas yang terbagi atas 6 kelas tingkat dasar (ibtidaiyah), 3 tingkat kelas menengah (tsanawiyah) dan 2 tingkat atas (aliyah). Semua sekolahan ini terletak dalam satu gedung. Pada 20 Februari 1915 Madrasah Mambaul Ulum ini diresmikan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta.

Populer dengan Nama Perangan Hoeparanta dan Perangan Krida Reh Wara

Setelah sukses mendirikan Madrasah Mambaul Ulum pihak keraton kemudian mengembangkan sistem pendidikan dengan mendirikan madrasah penghulu yang bertujuan untuk menyebarkan agama Islam dengan memasukan unsur Islam dalam kurikulumnya sekaligus untuk mendapatkan calon bakal penghulu yang ahli di bidang agama Islam.

Rencana pembangunan madrasah penghulu yang ada di lingkungan Keraton telah diputuskan dan disahkan dalam pertemuan Pangreh Ageng lengkap (Pleno Hoofdbastuurs vergadering) yang merupakan bagian dari Perkumpulan Penghulu Dan Pegawainya (P.P.D.P.). Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 25 Desember 1939.

Secara tipologi nama Madrasah penghulu terbagi menjadi dua yang pertama “Perangan Hoeparanta (Voorbereidende-Afdeeling)” kemudian yang kedua dikenal dengan nama “Perangan Krida Reh Were (Vak-Afdeeling)”. Perangan Hoeparanta sendiri masih terbagi menjadi dua kelas yaitu kelas Perangan Heoperanta A dan kelas Perangan Hoeperanta B.

Proses pembelajaran di madrasah penghulu ditempuh selama sembilan tahun yang terdiri dari 5 tahun untuk sekolah Perangan Hoeperanta dan yang 4 tahun untuk menempuh sekolah Perangan Krida Reh Wara.

Secara kurikulum ada dua muatan pelajaran yang diajarkan dalam madrasah penghulu pertama, 60% pendidikan agama Islam dan kedua, 40% pendidikan umum. Pendidikan agama Islam yang diajarkan seperti baca-tulis al-Qur’an, ilmu tauhid, tafsir, hadist, sejarah Islam ditambah dengan kewajiban-kewajiban seorang penghulu, kemudian tentang struktur pemerintahan Islam, mulai dari organisasi sampai dengan administrasi baik kantor nikah, kas masjid, raad agama dan lain sebagainya sampai dengan praktiknya.

Muatan pelajaran dan pendidikan umum mengikuti pelajaran dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) sebuah kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar eksakta ditambah dengan mempelajari tatanan hukum di Hindia Belanda, dasar-dasar pendidikan pengadilan, dasar-dasar pendidikan hukum adat, dan dasar-dasar pendidikan sosiologi.

Madrasah bagi para penghulu memulai kegiatan belajar mengajarnya dari jam 8 pagi sampai dengan jam 1 siang. Murid yang diterima di madrasah penghulu merupakan putra dari punggawa penghulu yang sudah masuk dalam keanggotaan PPDP, dengan mendelegasikan dari tiap-tiap kabupaten maksimal 3 murid tiap tahun.

Lulusan dari madrasah penghulu diangkat menjadi ketib sampai seterusnya yang mana jabatan penghulu bisa digantikan oleh anak-anaknya apabila mau menggantikannya. Secara khusus madrasah penghulu didirikan pemerintahan Kasunanan Keraton Surakarta sebagai Upaya untuk memperbaiki tatanan dan kedudukan para penghulu di lingkungan keraton.

Referensi:

Sumarno, Fahcrudin Wisnu dkk. “Pasang Surut Penghulu sebagai Abdi Ndalem di Kasunanan Surakarta 1931-1937 M”. Jurnal Batuthah: Jurnal Sejarah Peradaban Islam. Vol. 02, No.01, 2023

Purbaningrum, Dwi Fariska, Kusairi Latif. “Penghulu-penghulu Keraton di Bidang Agama, Hukum dan Pendidikan di Kasunanan dan Mangkunegaran tahun 1936-1947”. Journal Historiography: Journal of Indonesian History and Education. Vol.03, No. 02, 2023

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan