PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG ANAK SAH (Analisis Pasal 53 dan Pasal 99 KHI)

PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG ANAK SAH (Analisis Pasal 53 dan Pasal 99 KHI)

  1. Segi positif dan negatif Pasal 53 dan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam sebagai ciri khas keindonesiaan

          Anak sah yang dimaksud dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, serta hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut, (Departemen Agama, 1991/1992: 46). Sedang menurut pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berbunyi sebagai berikut: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. (Undang-Undang Perkawinan, 1985: 15).

          Secara tekstual tidak ada limitasi redaksi pada definisi anak sah pada point pertama kedua pasal di atas. Apalagi kalau dikaitkan dengan bunyi Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam; (1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menhamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan ulang setelah anak yang dikandung lahir. (Departemen Agama, 1991/1992: 32). Anak sah di sini juga termasuk anak hasil kawin harnil yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 53. Adanya ketentuan ini dapat dipandang sebagai ketentuan baru dalam hukum Perkawinan di Indonesia dalam menetapkan kepastian persoalan yang masih dilematis. Akan tetapi masih belum jelas pengaturannya, bagaimana kalau yang mengawini itu bukan laki-laki yang menyebabkan kehamilan sebagaimana banyak terjadi dalam kenyataan di Indonesia.

          Mengenai kawin hamil menurut hukum Islam terdapat beberapa pendapat yang dapat dijadikan suatu dasar hukum. Menurut Mazhab Syafi’i gadis hamil boleh dinikahi oleh siapa saja, karena dia belum ada suaminya. Dan laki-laki yang menikahinya (baik Yang menghamili atau orang Iain) boleh menggaulinya, karena gadis yang dinikahi tersebut sudah menjadi istri yang halal. Dengan demikian pernikahannya sah dan anak yang dilahirkan oleh gadis tersebut menjadi anak sah. (Dr. Mustafa As Siba’i, 1965: 335).

       Menurut Mazhab Hanafi, boleh dinikahkan gadis hamil itu dengan siapa saja, dengan ketentuan jika yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, si wanita boleh digauli seperti yang telah dilakukan sebelum nikah, tetapi apabila yang menikahi gadis tersebut laki-laki yang bukan menghamilinya, tidak boleh digauli istrinya itu sampai melahirkan. Dan setelah melahirkan disunatkan (bukan diwajibkan) untuk menikahi kembali sekedar upacara karena sejak itu mau menggaulinya (Dr. Musthofa As Siba’i, 1965: 335). Dengan demikian maka apabila yang menikahi laki-laki yang menghamilinya dan lahir anaknya maka anak tersebut adalah anak sah. Tetapi kalau yang menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya maka jika anaknya lahir, anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya.

    Menurut Mazhab Maliki, gadis hamil hanya boleh dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, tidak sah dinikahi oleh laki-laki lain. Ini berarti jika laki-laki yang menghamilinya mati atau menghilang, gadis tersebut harus menungggu sampai melahirkan, baru boleh dinikahi laki-laki lain yang menginginkannya. Tetapi jika gadis hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, maka mereka boleh bergaul suami istri, tidak perlu lagi menikah setelah anaknya lahir. Dengan demikian maka anak yang dilahirkan adalah anak yang sah bagi keduanya. (Dr. Mustafa As Siba’i, 1965: 336).

       Menurut Mazhab Hambali, gadis hamil tidak boleh dikawini oleh laki-laki siapa pun juga termasuk laki-laki penyebab kehamilannya, alasannya adalah agar para gadis yang hamil diluar nikah tidak “tuman” atau terbiasa lagi dengan perbuatan zina, dan supaya kehamiIan jangan dijadikan alasan untuk cepat menikah, serta orang tua tidak bisa lagi dipaksa untuk menikahkan anaknya dengan ala-san sudah hamil. (Dr. Mustafa As Siba’i, 1965: 336). Pendeknya supaya tidak ada lagi perzinaan, biarlah gadis yang sudah hamil menjadi korban, tetapi gadis lain dapat mengambil contoh untuk tidak menirunya.

       Mengkaji beberapa pendapat diatas, maka dalam menetapkan kepastian hukum tentang kawin hamil dan kesahan anak menurut Pasal 53 dan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam seharusnya menganut Mazhab Maliki. Hal ini menurut hemat penulis lebih relevan dengan kondisi umat Islam di Indonesia dan demi perlindungan hukum kepada anak yang dilahirkan hasil kawin hamil tersebut. Selain itu, kalau dilihat dari sisi anak, sangat menguntungkan baik dari segi psikis dan perkembangannya.

      Gadis hamil diluar nikah adalah akibat lemah iman dan degradasi moral yang sama seka]i tidak ada hubungannya dengan bayi yang dilahirkan. Sehingga apabila gadis hamil di luar nikah tersebut tidak dinjkahkan akan mengalami stress mental yang berkepanjangan karena dirinya melahirkan tanpa suami, dan yang diuntungkan adalah pria yang menghamilinya bebas melenggang, tidak bertanggung-jawab dapat seenaknya menikah dengan gadis lain karena status hukumnya masih perjaka.

    Tetapi kelemahan Pasal 53 ini, bagaimana jika pria yang menghamilinya tidak bertanggung jawab kemudian menghilang tak tentu rimbanya? Hal ini selain merugikan gadis yang hamil juga mengancam masa depan anak yang akan dilahirkan. Apakah tidak ada alternatif lain, sehingga pria yang tidak menghamilinyapun dapat menikahi gadis hamil tersebut?

       Walaupun pendapat Mazhab Maliki yang dianut oleh Kompilasi ini, sudah sejalan dengan Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3 bahwa laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini wanita baik melainkan dengan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin, (Departemen Agama, 1974: 543). (Al Imam Abi Dawud Sulaiman, tt : 221)

      Kelemahan lain Pasal 53 ini memberi angin segar kepada para pelaku zina, karena perkawinannya direstui Kompilasi Hukum Islam terlepas dari hukum rajam di dunia dan anak yang dilahirkannya diakui sah oleh pasal 99. Kesemuanya itu baik penetapan hukum dan sosialisasinya dalam Pengadilan Agama maupun dalam perundang-undangan menurut Prof. Dr. H. Rahmat Djatnika salah seorang tim perumus Kompilasi Hukum Islarn, mengandung masalah ijtihad ulama Indonesia dengan menggunakan metode Al-Istislah, Al-Istihsan, AI-Urf yang bertujuan untuk menolak kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

          Walaupun demikian pada hemat penulis lebih cenderung kalau Pasal 53 dan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam ditambah ayatnya, untuk lebih menjelaskan tentang siapa saja yang boleh menikahi gadis hamil, dan membatasi definisi anak sah beserta syarat-syarat untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dengan kompleksitas permasalahannya. Sebagai sebuah hasil pimikiran manusia maka Kompilasi Hukum Islam tentu saja jauh dari sempuma. Tetapi kita harus menerimanya dengan segala kekurangannya. Kompilasi bukanlah hasil pemikiran yang final, oleh karena itu masih terbuka alternatif penyempumaannya.

C. PENUTUP

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *