ISTI’DZAN DALAM PERNIKAHAN, PERLUKAH?
Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)
A. PENDAHULUAN
Dalam setiap ibadah tentu ada syarat dan rukun yang mesti terpenuhi demi mendapatkan keabsahan ibadah itu sendiri , tak terkecuali dalam proses pernikahan. Syarat dan rukun dalam pernikahan tentu sudah lazim dan tentu sudah dihafal oleh setiap penghulu, apalagi kepala Kantor Urusan Agama. Istilah isti’dzan bukan termasuk syarat juga bukan rukun dalam pernikahan tetapi biasa dilakukan oleh penghulu dalam setiap proses pernikahan, utamanya di daerah propinsi Banten dan sekitarnya. Isti’dzan atau permohonan izin biasa dilakukan oleh calon pengantin putri kepada orang tuanya sesaat sebelum pernikahan (ijab qobul) dilakukan didepan penghulu. Tidak jelas, siapa yang pertama berjasa menganjurkan isti’dzan dalam pernikahan ini, tetapi secara turun tumurun tradisi ini sudah melekat dalam setiap pernikahan, khususnya di Banten dan sekitarnya. Karena ini sebuah tradisi lokal, maka jarang kita temukan kebiasaan ini pada masyarakat daerah lainya.
Nah, lalu apa makna isti’dzan atau meminta persetujuan ini? Apakah ini hanya hukum formal yang harus dilalui ataukah justru ini substansi (hukum materiil) yang menentukan? Jika kita memahaminya sebagai hukum formal, maka isti’dzan atau meminta persetujuan harus dilalui oleh setiap wali yang hendak menikahkan anak gadisnya. Timbul pertanyaan lain, lalu bagaimana jika sang gadis tidak menyetujui dan tidak mau untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang dipersiapkan ayahnya? Apakah wali tetap dibolehkan menikahkan anak gadis yang menolak dan nikahnya dihukumi sah, ataukah wali dilarang menikahkannya, dan jika tetap dinikahkan, apakah hukum nikahnya batal?
B. PEMBAHASAN
1.Pengertian Isti’dzan
Isti’dzan adalah permintaan izin untuk berbuat sesuatu karena perbuatan itu menyangkut hak orang lain.permitaan izin diterapkan dalam berbagai situasi, seperti memasuki rumah atau kamar, ibadah, peran dan lain-lain. Al-Qur’an mengungkapkan kalimat Isti’dzan dengan kata isti’nas, merupakan ungkapan wahyu yang menunjukkan sopan santun dalam meminta izin dan sikap ramah yang diperlihatkan oleh orang yang datang.
Ada dua jenis minta izin (isti ’dzan), yaitu Isti’dzan khoriji (eksternal) maksudnya adalah permintaan izin yang berlaku di antara orang-orang yang bukan mahram. Sedangkan Isti’dzan dakhili (internal) adalah permintaan izin yang berlaku di antara sesama mahram atau kerabat. Secara detil kedua jenis isti’dzan dijelaskna sebagai berikut:
a. Minta izin (isti’dzan) khariji
Minta izin (isti ’dzan) khariji adalah minta izin yang berlaku di antara orang-orang yang bukan mahram. Misalnya dilarang melirik ke dalam rumah seseorang tanpa seizin yang punya rumah. Tidak boleh melirik ke dalam rumah seseorang tanpa izin yang punya rumah. Sebagaimana tercantum dalam hadits Rasulullah SAW yang sahih dari Shal bin Sa’ad ra, ia berkata: “Seseorang mengintip dari sebuah lubang pintu Nabi saw. Pada saat itu Rasulullah saw, sedang menggaruk kepalanya dengan sisir, lalu beliau bersabda: “Kalaulah aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya sudah aku colok kedua matamu dengan sisir ini. Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahkan untuk menjaga pandangan mata“.
Minta izin adalah perbuatan yang diperintahkan oleh syariat dan diperintahkan untuk menjaga pandangan mata agar tidak jatuh kepada hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu tidak boleh seorangpun mengintip dari lubang pintu dan lainnya, karena pandangan matanya akan tertuju kepada wanita yang bukan mahram.
b. Minta izin (isti’dzan) dakhili
Minta izin (isti ’dzan) dakhili adalah minta izin yang berlaku pada sesama kerabat. al-Hafizh Ibnu Hajar berkata;”Setiap mahram wajib meminta izin kepada mahram yang lainnya untuk menghindari terlihatnya aurat. Dari Nafi’; apabila anak-anak Ibnu Umar sudah baligh, beliau tidak masuk kecuali meminta izin terlebih dahulu.
Allah SWT menyuruh kaum mukminin agar mereka memerintahkan kepada budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak mereka yang sudah baligh dalam tiga kondisi. Pertama, sebelum salat Subuh (yaitu antara terbit fajar hingga munculnya matahari, maksudnya dilarang masuk sebelum salat fajar). Hal itu karena pada saat tersebut manusia tengah tidur di pembaringannya. Kedua, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari, yaitu pada saat tidur siang, karena pada saat tersebut biasanya manusia menanggalkan pakaiannya ketika bersama keluarganya. Ketiga, sesudah salat Isya’, karena pada saat itu waktu untuk tidur. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur ayat 58: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan Pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2. Isti’dzan dalam Pernikahan
a.Isti’dzan Perawan dan Janda dalam akad nikah
Isti’dzan memang bukan syarat dan rukun dalam pernikahan, tetapi hanya kebiasaan atau adat dan tradisi dalam komunitas masyarakat provinsi Banten dan mungkin juga daerah lainnya, tetapi justru pada lazimnya, dalam keadaan isti’dzan atau sungkem ini kedua belah pihak antara calon penganten putri dan orang tua calon penganten putri merasakan puncak psikologis keharuan yang tidak tertahankan. Permohonan izin dan restu serta permohonan maaf dan do’a dari lubuk hati yang paling dalam biasanya dijawab pula dengan perasaan hati yang paling dalam pula dari orang tua calon penganten, bahkan tidak jarang sampai tidak bisa terkatakan dengan kata-kata, namun terkatakan dengan isak tangis sebagai simbul pemberian restu dan doa yang paling tulus dari orang tua kepada anaknya. Kalimat isti’dzan yang biasa diucapkan oleh calon penganten putri kurang lebih seperti ini:”Ibu dan bapak, ananda mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang selama ini ananda lakukan. Ibu dan bapak, saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala pemberihan, didikan dan jasa yang telah ibu bapak berikan kepada saya, saya sadar belum bisa membalasnya, semoga Allah SWT akan membalas dengan sebaik-baik balasan. Ibu dan bapak, saya mohon izin dan doa serta restu untuk dinikahkan dan dikawinkan kepada fulan bin bapak fulan.Saya ridho, saya rela, saya ikhlas Bapak menikahkan diri saya kepadanya, semoga Allah SWT akan selalu memberikan berkah dan bimbinganNya kepada keluarga kami”.
Dalam praktek isti’dzan di masyarakat provinsi Banten nampaknya hanya berlaku bagi calon pengantin wanita, padahal bila forum ini dijadikan “obyek dakwah” dan bukan masuk syarat rukun pernikahan (fikih), maka calon penganten pria justru lebih diperlukan mendapat “dakwah” dari para penghulu. Barangkali perlu dimulai pembiasaan isti’dzan dari calon penganten putra dalam rangka penyamaan gender dan pemberian izin serta restu dari orang tua kepada putranya secara publik dan pada saat-saat suasana sakral. Permohonan izin dari calon penganten putra bukan kepada wali nikah tentunya, tetapi kepada orang tuanya yang sudah begitu banyak memberikan jasa kepadanya, sehingga kalimat isti’dzannya bukan seperti kalimat yang diucapkan oleh calon penganten wanita (mohon dinikahkan dan dikawinkan), tapi lebih pada permohonan izin dan restu serta permohonan maaf dari seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini memang belum lumrah dilakukan di masyarakat provinsi Banten karena memang belum ada yang memulai, tetapi apabila hal ini dipandang sebagai tradisi yang baik serta tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, kenapa kita tidak memulai? Ada pepatah Arab mengatakan : “Al Fadhlu lil mubtadi wa in ahsanal muqtadi”, artinya keutamaan nilai adalah milik yang memulai, walau pengikutnya nantinya berkreasi lebih baik.
Agama Islam merupakan agama yang sangat meninggikan posisi perempuan. Sejarah mencatat bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW hadir menyampaikan syariat Islam, masyarakat jahiliyah di Mekkah sangat tidak adil dalam memperlakukan perempuan. Kaum hawa tidak mendapatkan hak bersuara dalam hal apa pun, tidak mendapatkan hak waris, tidak bisa menuntut nafkah yang layak, dan lainnya. Setelah Nabi Muhammad SAW datang, mulailah perempuan mendapatkan tempat di masyarakat. Islam membuat mereka bisa mendapatkan hak waris, bisa menuntut nafkah yang layak bagi dirinya, dan bisa menyampaikan hak bersuara khususnya dalam bab nikah. Di sisi yang lain, Islam juga tidak sampai kebablasan dalam memberikan kebebasan bagi perempuan, seperti perlakuan yang berbeda bagi perawan dan janda dalam bab nikah.
Dikutip dari Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam kitab al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz II, hal. 429-430, disebutkan bahwa:
ويجوز للأب والجد تزويج البكر من غير رضاها صغيرة كانت أو كبيرة لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يستأمرها أبوها في نفسها ” فدل على أن الولي أحق بالبكر وإن كانت بالغة فالمستحب أن يستأذنها للخبر وإذنها صماتها لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الأيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها”
Artinya:“Diperbolehkan bagi ayah atau kakek menikahkan anak perawan tanpa kerelaannya, baik kanak-kanak maupun dewasa sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh, bahwa Nabi bersabda: ‘Janda berhak atas dirinya ketimbang walinya, dan ayah seorang perawan boleh memerintah untuk dirinya’. Hadits ini menunjukkan bahwa wali lebih berhak atas diri seorang perawan. Jika si perawan tersebut sudah dewasa, maka disunnahkan untuk meminta izin padanya, dan izinnya berupa diam, sebagaimana hadits riwayat ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: ‘Janda lebih berhak bagi dirinya ketimbang walinya, dan perawan memberikan izin untuk dirinya, dengan cara diam’.”
Keterangan di atas menunjukkan bahwa ketika seorang perempuan statusnya adalah janda, maka dia harus bersuara untuk dirinya sendiri dalam akad nikah. Ia harus menyampaikan pendapatnya apakah dia bersedia menikah dengan seseorang yang dicalonkan bagi dirinya ataupun tidak. Dalam hal ini, suaranya lah yang paling menentukan kelangsungan akad nikah. Ia diposisikan sebagai pihak yang bisa menentukan nasibnya sendiri. Berbeda halnya dengan perawan. Wali bisa memaksanya untuk menikah dengan lelaki yang baik baginya selama tidak ada bahaya.
Dalam Muktamar ke-5 NU di Pekalongan pada tanggal 7 September 1930 yang menyinggung soal ini berpendapat bahwa tindakan wali semacam itu adalah makruh alias tidak dianjurkan. Ketika mudarat timbul akibat paksaan tersebut, hukumnya bisa berubah menjadi haram. Tetap disunnahkan untuk menanyakan pendapat si anak perawan tentang rencana pernikahannya, dan jika dia diam, maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya. Alasan diamnya perawan dianggap sebagai persetujuan, bisa kita simak pada kelanjutan penuturan Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi: ولأنها تستحي أن تأذن لأبيها فجعل صماتها إذناً “Karena dia (perawan) malu menunjukkan kata izin pada ayahnya, maka dijadikanlah diamnya sebagai bentuk persetujuan.
Perlu diingat bahwa tidak semua wali berhak memaksa, hanya ayah atau kakeknya saja. Jika seorang perawan tidak lagi memiliki ayah atau kakek, dan walinya adalah selain mereka berdua atau wali hakim, maka wali yang bukan ayah atau kakek ini tidak bisa memaksa si perawan tersebut. Hal ini dinyatakan dalam kelanjutan penuturan Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi:
ولا يجوز لغير الأب والجد تزويجها إلا أن تبلغ وتأذن لما روى نافع أن عبد الله بن عمر رضي الله عنه تزوج بنت خاله عثمان بن مظعون فذهبت أمها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وقالت: إن ابنتي تكره ذلك فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفارقها وقال: “لا تنكحوا اليتامى حتى تستأمروهن فإن سكتن فهو إذنهن” فتزوجت بعد عبد الله بن المغيرة بن شعبة “
Tidak boleh bagi selain ayah atau kakek menikahkan perawan hingga dia dewasa dan memberikan pernyataan izinnya”. Semoga pemaparan di atas bisa memberikan gambaran yang jelas tentang perbedaan perlakuan bagi perawan dan janda dalam akad nikah.
Menurut Imam Syafi’i, tanpa izin dan persetujuan anak gadis yang hendak dinikahkan, nikahnya batal, kecuali ayah kepada anaknya. Karena Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas RA pernah menolak pernikahan Khansa’ binti Khadzdzam ketika ayahnya menikahkannya dalam keadaan terpaksa (karihah) tanpa persetujuannya serta menganjurkannya untuk memilih. Mengomentar hadits Ibnu Abbas di atas, Muhammad Ibn Isma’il al-San’any menyatakan haramnya pemaksaan ayah terhadap anaknya yang masih gadis (perawan) untuk kawin, tetapi Imam al-Baihaqy mendukung pendapat Imam Syafi’i yang menilai bahwa hadits dari Ibnu Abbas tersebut, laki-laki yang dijodohkannya tidak sesuai (kufu’). Dengan kata lain, Imam al-Syafi’I membolehkan seorang ayah memaksa kawin anak gadisnya, apabila laki-laki calon suaminya sesuai atau kufu’ (al-San’any, Subul al-Salam, Juz 3, Kairo: Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1379 H/1980, hal. 122).
Dalam kitab Zad al-Ma‘ad, Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih tegas lagi berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan anak gadis ketika akan menikahkannya. Hukum ini juga melarang pemaksaan terhadap gadis yang sudah dewasa untuk dinikahkan, dan larangan menikahkan gadis kecuali atas persetujuannya. Pendapat yang terakhir ini memahami isti’dzan dan persetujuan anak gadis sebagai hukum materiil, yakni persetujuan menjadi keharusan. Tanpa persetujuannya, pernikahan tidak sah.
Mencermati praktek isti’dzan yang biasanya dilakukan dalam pernikahan di masyarakat provinsi Banten, nampaknya tradisi ini bisa dikatakan “kearifan lokal” atau “Local wisdom” yang penuh muatan etika dan dakwah dalam islam. Meski dalam waktu yang singkat, sesungguhnya disini penghulu berperan sangat penting untuk berdakwah mengingatkan kembali betapa besar peran dan doa orang tua bagi anak-anaknya. Dalam konteks fikih orang tua kandung sebagai wali nasab memang adalah wali mujbir yang mempunyai hak untuk memaksa anak putrinya menikah dengan pria pilihanya, tetapi dalam konteks budaya dan etika alangkah sangat indahnya apabila nuansa ridho dan ikhlas juga terpancar dari anak dan orang tuanya. Sebagai ‘sarana’ penyampaian ajaran islam metode dakwah sebagai sebuah pendekatan penempati posisi yang sangat penting, apa lagi jika dikaitkan dengan konteks perkembangan islam di Indonesia dengan munculnya istilah Islam garis keras, maka berbagai cara dan berbagai forum bisa dijadikan media dakwah islamiyah secara lembut dan humanis. Penghulu bisa berperan ganda, disamping sebagai pencatat pernikahan juga sebagai da’i yang melakukan dakwah melalui media isti’dzan dengan menerima tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Kaidah fikih mengatakan: al ‘adatu muhakkamah (kebiasaan bisa menjadi hukum) ini adalah merupakan derivasi (turunan) penafsiran firman Allah dalam surat al A’raf 199 : “wa’mur bil ‘urfi wa a’ridh ‘anil jahiliin”. Menurut mufassir Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab tafsir Sofwatu al-Tafaasier menjelaskan bahwa pengertian wa’mur bil ‘urfi sebagai: al ma’ruf wal jamiil al mustahsan minal aqwaal wal af’aal artinya kebaikan dan keindahan yang dianggap baik berupa perkataan dan perbuatan. Dalam konteks ini maka Al ‘urf bisa diartikan dengan tradisi, adat, kebiasaan, amalan yang menjadi kelaziman dalam masyarakat setempat.
b. Isti’dzan dalam aturan Hukum Perkawinan di Indonesia
Mengamati praktek isti’dzan yang biasanya dilakukan dalam pernikahan di masyarakat provinsi Banten atau mungkin juga terjadi di daerah lainnya, nampaknya tradisi ini bisa dikatakan kearifan lokal (local wisdom) yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Isti’dzan atau persetujuan ini sangat penting agar masing-masing suami-istri ketika memasuki gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional. Dengan demikian, tujuan perkawinan dapat tercapai. Persetujuan calon mempelai merupakan hasil dari proses awal yaitu peminangan (khitbah), karena persetujuan tidak mungkin dilakukan apabila masing-masing calon tidak mengenal atau mengetahuinya. Dalam tahap awal, persetujuan atau isti’dzan ini dapat diketahui melalui wali calon mempelai wanita, dan pada tahap akhir dilakukan petugas atau Pegawai Nikah atau Penghulu sebelum akad nikah dilangsungkan (Ahmad Rofiq, 1997: 73-74). Lalu, bagaimana aturan hukum perundang-undangan tentang perkawinan memandang Isti’dzan yang sudah merupakan hukum adat karena dianggap merupakan kearifan lokal ini?
Berdasarkan dua kutipan hadits di atas, yaiu hadits dari Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dan hadits dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim (Muttafaq ‘alaih) tentang meminta persetujuan atau Isti’dzan pernikahan antara perawan dan janda, maka Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merumuskanya dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi: “Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai (1)”, dan ayat (2) berbunyi: “Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas”.
Sebagai pengukuan adanya persetujuan calon mempelai, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan kepada mereka. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum Islam: