MEMAKNAI PEMBERLAKUAN AKTA KELAHIRAN DALAM PMA NO. 30 TAHUN 2024

MEMAKNAI PEMBERLAKUAN AKTA KELAHIRAN DALAM PMA NO. 30 TAHUN 2024

Gonjang-ganjing pemberlakuan akta kelahiran sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran/pemberitahuan kehendak nikah di KUA Kecamatan kian hari semakin membuat warga masyarakat resah dan khwatir. Tidak sedikit pengajuan pemberitahuan kehendak nikah ke KUA Kecamatan yang tidak melampirkan akta kelahiran atau akta kelahiran yang dilampirkan tidak sesuai dengan faktanya (kebenaran faktual) ditolak oleh KUA Kecamatan. Kasus-kasus yang sering terjadi berkaitan dengan akta kelahiran yang tidak sesuai dengan faktanya (kebenaran faktual) adalah:

  1. Akta kelahiran yang hanya menyebutkan anak ibu dan tidak menyebutkan ayah bagi perkawinan tercatat. Kasus seperti ini terjadi karena pada saat pengurusan pembuatan akta kelahiran anak tidak melampirkan/menujukkan salinan buku nikah
  2. Akta kelahiran yang mencantumkan anak ibu bagi orang tuanya yang nikah tidak tercatat (nikah sirri/Perkawinan bawah tangan)
  3. Akta kelahiran bagi anak yang orang tunya sudah lama meninggal dan sudah terhapus di dalam kartu keluarga atau orang tuanya kawin belum tercatat kemudian cerai belum tercatat.

Kasus-kasus tersebut di atas menuai “pro-kontra” di kalangan KUA Kecamatan, para Penghulu dan antar instansi yang melayani administrasi kependudukan dalam menyelesaikan.Tak ayal, ada sebagian penghulu yang memaknai bahwa adanya akta kelahiran sebagaimana Pasal 4 tersebut harus memenuhi tingkat validitas yang tinggi. Pencantuman anak ibu pada akta kelahiran akibat nikah tidak tercatat (nikah sirri/Perkawinan bawah tangan) harus dilakukan perubahan (baca:penggantian) akta kelahiran dan harus mencantumkan asal-usul atau nama kedua orang tuanya. Melakukan penggatian akta kelahiran sangat mudah bagi daerah-daerah yang telah penerapkan penerbitan dan penggantian akta kelahiran sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentunya, menjadi persoalan pelik bagi KUA Kecamatan yang daerahnya belum penerapkan penerbitan dan penggantian akta kelahiran sesuai peraturan perundang-undangan terbaru, yaitu UU No. 24 Tahun 2013 jo. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Perpres No. 96 Tahun 2018, Permengadri No. 108 dan No. 109 Tahun 2019.

Peliknya melakukan perubahan (baca:penggantian) akta kelahiran tersebut (tanda kutip) “memaksa” sebagian penghulu menutup mata dan melakukan penyimpangan terhadap ketentuan pemberlakukan akta kelahiran sesuai Permenag No. 30 Tahun 2024. Alasan logis dari penyimpangan ini dilakukan adalah potensi semakin banyak perkawinan-perkawinan sirri yang dilakukan di masyarakat karena tidak memenuhi persyaratan akta kelahiran baik kerena sebab keharusan kedua orang tuanya melakukan itsbat nikah maupun karena keharusan melakukan perubahan nama atau data kependudukan ke pengadilan. Selain itu, ada sebagian KUA Kecamatan menentukan akta kelahiran tidak memenuhi tingkat validitas yang tinggi dalam penerpannya.

Lalu, Bagaimana eksistensi pemberlakuan Akta Kelahiran sebagaimana Pasal 4 PMA 30 Tahun 2024…?

Secara yuridis, pemberlakuan akta kelahiran sebagai salah satu prasyarat tersebut tentunya bukan tidak beralasan. Akta kelahiran merupakan manifestasi dari Hak Asazi Manusia (HAM) dimana dalam hal ini adalah perlindungan hukum bagi anak. Aspek HAM iniah yang harus menjadi dasar dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan terbaru yang mengatur Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pedoman Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selain itu, pemberlakuan tersebut dilakukan sebagai upaya sinkronisasi data pada admnnistrasi kependudukan antara pencatatan perkawinan dan pencatatan kelahiran. KUA Kecamatan sebagai leading sector dalam pencatatan perkawinan sejatinya mengemban dua amanah undang-undang, yaitu pertama amanah undang-undang di bidang perkawinan kedua, mengembang amanah undang-undang di bidang administrasi kependudukan. Pada tataran pelaksanaanya, kedua amanah undang-undang tersebut, bagi KUA Kecamatan bagaikan dua sisi mata uang, artinya dua hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Implimentasnya, baik dalam pelaksanaan perkawinan maupun dalam pencatatanya harus sinkron dan terpadu. Ketepaduan data-data administrasi terus harus dilakukan bukan semata-mata masalah admnistrasi yang bersifat formil, tetapi juga berkaitan dengan hak-hak hukum yang berkaitan dengan kebenaran materiil. Suatu pencatatan kependudukan yang dilakukan sebagai kebenaran formil harus mengacu dan sesuai denngan fakta sebenarnya sebagai kebenaran materiil. Perbedaan dan ketidaksesuaian antara kedua kebenaran tersebut berpotensi adanya pelanggaran hukum berupa manipulasi data atau penyimpangan hukum seperti perbuatan menghilangkan asal-usul. Hal ini, sebagaima telah diatur dalam pasal pasal 94 dan 77 UU No. 24 Tahun 2013 jo. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan serta Pasal 277 KUHP dan pasal 39 UU No. 35 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (pembahasan ini dibahas pada tulisan:  https://pustakapenghulu.apripusat.or.id/sahnya-nikah-per…agama-dan-negara/3905)

Hakikatnya, keharusan adanya akta kelahiran dalam pencatatan Pernikahan tersebut sudah termaktub semenjak adanya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 55 dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa asal-usul anak hanya dapat dibuktikan akta kelahiran. Ketentuan materiil dalam pelaksanaannya telah diatur dalam Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974. Memang harus diakui, upaya sinkronisasi data-data kependudukan tidak berjalan mulus. Sejak berlakunya undang-undang perkawinan tahun 1974 hingga tahun 2024 mengalami kendala, khususnya data administasi kependudukan yang berkaitan dengan status anak dan status perkawinan orang tuanya serta hubungan keluarga dalam kartu keluarga dan akta kelahiran dalam perkawinan tidak tercatat (nikah sirri/Perkawinan bawah tangan).

Karenanya, Sejak UU No. 1 Tahun 1974 diberlakukan sampai tahun 2024 pemberlakuan akta kelahiran bagi calon suami dan calon isteri masih mendapat kelonggaran, yaitu surat keterangan kelahiran yang dikeluarkan oleh Kepala Desa. Ketentuan hukum ini secara materiil diatur dalam Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974. Namun, di tahun 2025 sejak Permenag No. 30 Tahun 2024 berlaku akta kelahiran mutlak diberlakukan. Hal ini dilakukan karena adanya faktor pergeseran paradigma keabsahan perkawinan dan faktor adanya dukungan kebijakan/regulasi.

  1. Pergeseran Paradigma Keabsahan Perkawinan

Pada awalnya, ketentuan keabsahan perkawinan sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ditautkan dan merupakan penggabungan ayat (1) dan ayat (2) pada Pasal 2 undang-undang tersebut. Ayat (1) pasal (2) menyebutkan:

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dua ayat dalam pasal 2 tersebut tidak berdiri sendiri dan tidak dipisahkan. Paradigma keabsahan perkawinan harus mencakup dua hal, yaitu sah secara agama dan sah secara Negara. Artinya suatu perkawinan yang lakukan hanya sesuai dengan ayat (1), yaitu menurut hukum agama, tetapi tidak tercatat sebagaimana ayat (2), maka negara menganggap tidak sah. Oleh sebab itu pencatatan status perkawinan seseorang pada administrasi kependudukannya yaitu pada KTP dan KK masih dianggap belum kawin.

Selain itu, suatu perkawinan yang hanya sesuai pasal 2 ayat (1) yaitu sah secara agama saja (nikah sirri/Perkawinan bawah tangan) akan berakibat pada anak yang dilahirkan. Sesuai pasal 42 anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan sah secara agama dan sah secara negara (perkawinan tercatat) adalah anak sah yang mempunyai hubungan darah atau nasab dengan kedua orang tuanya. Sebaliknya, status anak yang dilahirkan akibat dari perkawinan yang sah secara agama saja (nikah sirri/Perkawinan bawah tangan) hanya akan mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sebagaimana pasal 43 tersebut. Karenanya, pencatatan status anak yang dilahirkan pada akta kelahirannya dianggap anak ibu yang tidak ada hubungan nasab atau hubungan darah dengan ayah kandungnya.

Pencatatan status anak sebagai anak ibu pada akta kelahiran dalam kasus nikah sirri/Perkawinan bawah tangan tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum perkawinan (fiqh munākahat). Ketentuan pencatatan nikah harus sesuai dengan fakta yang sebenarnya karena berkaitan dengan nasab dan status perwalian nikah. Oleh sebab itu, pada kasus ini pemberlakuan Akta kelahiran pada pencatatan nikah di KUA Kecamatan terdapat kelonggaran yaitu menggunakan surat keterangan kelahiran yang dikeluarkan oleh kepala desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Namun pada era reformasi ini, ketentuan keabsahan perkawinan mengalami pergeseran paradigma. Tidak sama dengan sebelumnya, pada era reformasi ini ketentuan keabsahan perkawinan hanya ditentukan oleh pasal 2 ayat (1), artinya sahnya perkawinan samata-mata hanya ditentukan oleh ketentuan agama. Adapun pencatatannya semata-mata adalah kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pegeseran paradigma keabsahan perkawinan tersebut dimulai sejak tahun 2010 tepatnya pada putusan MK No. 46/PUU-VII/2010. Menurut MK faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. MK mengacu pada penjelasan pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu:

”…. bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.

Akibat dari ketentuan keabsahan tersebut MK kemudian mengganti pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 43 yang semula berbunyi:

“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”

harus dimaknai dan dibaca:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”

Perubahan dan tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat, sehingga adalah kaidah hukum yang harus dilaksanakan. Karenanya, semua peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan status hubungan anak dan orang tuanya yang dituangkan dalam akta kelahiran mengalami perubahan. Peraturan perundangan-undangan yang mengalami perubahan adalah UU Administrasi Kependudukan, UU Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta Permengadri tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan