HAKIKAT IDUL-FITRI

HAKIKAT IDUL-FITRI

HAKIKAT IDUL-FITRI

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِىْ اَعْظَمَ عَلَى عِبَادِهِ الْمُــنَّةَ. بِمَا دَفَعَ عَنْهُمْ كَيْدَ الشَّـيْطَانِ وَفَــنَّهُ. وَرَدَّ اَمَلَهُ وَخَيَّبَ ظَــنَّهُ. اِذْ جَعَلَ الصَّوْمَ حِصْنًا ِلاَوْلِيَائِهِ وَجُــنَّةً. وَفُــتِحَ لَهُمْ بِهِ اَبــْوَابُ الْجَــنَّةِ. الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى  سَيِّدِنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ قَائِدِ الْخَلْقِ وَمُمَهِّدِ السُّـنَّةِ. وَعَلَى آلِه وَاَصْحَابِه ذَوِى اْلاَبـْصَارِ الــثَّاقِبَةِ وَالْعُقُولِ الْمُرْجِحَةِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَّ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. شَهَادَةً تُــنْجِىْ قَائِــلَهَا مِنْ اَهْوَالِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِىْ لاَ نَبِيَّ وَلاَ نُبُوَّةَ وَلاَ رِسَالَةَ بَعْدَهُ. مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ رَحِمَكُمُ اللهُ. اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِىْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Kaum muslimin-muslimat rahimakumullah.

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah mencurhakan nikmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada malam ini masih diperkenankan menunaikan ibadah shalat fardhu dan sunnah di malam penghujung Ramadhan.. Dengan penuh harapan semoga ibadah kita selama satu bulan Ramadhan itu, baik puasa, tarawih, tadarrus al-Quran, sedekah, dan sebagainya diterima oleh Allah SWT. Shalawat dan salam sejahtera semoga tercurah ke haribaan Nabi Kita Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya termasuk kita sekalian yang senantiasa mengikuti jejak langkahnya.

Kaum muslimin-muslimat rahimakumullah.

Pada saat ini ada dua rasa yang menggelora di dalam jiwa kita sekalian. Pertama, rasa bagahagia yang tiada terkira. Kedua, rasa sedih yang merasuk ke dalam sukma. Bahagia karena kita berada satu hari di penghujung Ramadhan dan satu hari lagi kita melaksanakan ibadah saum, yang sebelumnya kita telah melaksanakan satu kewajiban ibadah puasa selama satu bulan, yang tentu saja penuh dengan godaan dan hambatan, baik yang timbul dari luar, maupun yang muncul dari dalam diri kita sendiri. Namun semua godaan dan hambatan itu mampu kita kendalikan dengan penuh keikhlasan.

Adapun kesedihannya adalah, bahwa kita akan meninggalkan dan ditinggalkan oleh satu bulan mulia yang penuh dengan hikmah, berkah, rahmah, dan maghfirah Allah SWT. Dan tentu saja kita semua tidak tahu, apakah di tahun yang akan datang kita masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menikmati jamuan Ramadhan ataukah tidak. Jika Allah menghendaki bahwa tahun mendatang kita tidak dipertemukan lagi dengan Ramadhan, maka artinya bahwa Ramadhan ini adalah Ramadhan yang terakhir untuk kita. Namun demikian, kita semua berdo’a semoga kita masih diperkenankan oleh Allah SWT untuk bisa bertemu kembali dengan Ramadhan yang akan datang, sehingga kita masih bisa menikmati jamuan Ibadah saum Ramadhan dengan segenap kebahagiaan. Amin ya Rabbal-‘alamin.

Hal itu desebabkan oleh hasrat hati dan keinginan kita untuk menghirup serta menikmati indahnya Ramadhan sebagai bulan mulia yang memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk beramal ibadah sebanyak-banyaknya dengan pahala yang dilipatgandakan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, marilah kita gunakan kesempatan yang hanya satu hari ini dengan sebaik-baiknya. Kita sempurnakan ibadah saum kita ini sebagai saum yang paling berharga dari saum-saum kita sebelumnya. Kita persembahkan tarawih kita saat ini sebagai tarawih yang terbaik dari tarawih yang kita lakukan sebelumnya. Kita lantunkan ayat-ayat suci al-Quran dengan lantunan yang paling indah dari bacaan-bacaan kita  sebelumnya. Kita panjatkan do’a yang paling ikhlas dari rangkaian do’a-do’a kita sebelumnya. Kita haturkan munajat cinta kita yang paling berkesan dari munajat-munajat kita sebelumnya. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Bulan Ramadhan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.  (QS. Al-Baqarah: 185)

Kaum muslimin-muslimat rahimakumullah.

Menjelang idul-fitri, sebagian di antara kita biasanya kita disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya badaniyah atau lahiriyah semata. Kita sibuk mempersiapkan baju baru, peci dan sorban baru, kerudung baru, sarung baru, dan sebagainya. Di sisi lain ibu-ibu juga disibukkan dengan membuat masakan-masakan, kue-kue, ataupun hidangan- hidangan untuk perayaan lebaran. Hal seperti ini pada dasarnya tidaklah terlarang sekiranya masih dalam koridor dan batas-batas kewajaran sebagai luapan kegembiraan di hari lebaran. Hanya yang harus diperhatikan sebenarnya adalah sejauh mana ibadah Ramadhan itu membekas di hati kita. Sejauh mana amalan ibadah saum ramadhan itu mampu membentuk kepribadian kita. Sejauh mana ibadah zakat fitrah itu menumbuhkan sikap solidaritas sosial kita terhadap sesama. Sampai di mana ibadah tarawih kita itu dapat meningkatkan keimanan kita. Sampai di mana ibadah tadarrus al-Quran kita itu dapat teraplikasi dalam kehidupan kita. Dan sebagainya.

            Karena sejak semula, pelaksanaan ibadah Ramadhan ini diorientasikan la’allakum tattaqun, ­dalam rangka mencetak manusia yang beriman agar menjadi orang-orang yang bertaqwa. Bukan sekedar pengakuan bahwa dirinya beriman, tetapi harus dengan pembuktian melalui perbuatannya. Sanggupkah ia melaksanakan perintah Allah dengan keikhlasannya walaupun memberatkamn dirinya, serta sanggupkah ia menjauhi dan meninggalkan larangan Allah dengan kesungguhannya meskipun menyenangkan nafsunya. Bukan pribadi yang berbalut pakaian baru, sementara keimanannya keropos. Bukan tubuh yang bertahtakan perhiasan mewah, sementara akhlak dan kepribadiannya rendah. Sehingga para ulama menyatakan:

لَـيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، وَلَكِنَّ الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ

Lebaran itu bukanlah untuk orang yang mengenakan baju baru, tetapi lebaran itu adalah untuk rang-orang yang ketaatannya semakin bermutu.

Kaum muslimin-muslimat rohimakumulloh.

Atas dasar itulah, menurut sahabat Anas bin Malik, kata “’id” yang berarti hari kebahagian mempunyai dua makna: pertama makna secara syari’at, dan kedua makna secara hakikat. Secara syari’at, ‘id terbagi dua, yakni ‘idul fitri dan ‘idul adha. Sedangkan secara hakikat, ‘id yang berarti hari kebahagiaan itu meliputi lima arti.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *