PENGHULU: SANG KHADIMIL UMMAT MIN DHULUMATI ILA DHULUMATI (Sebuah Refleksi Eksistensi dan Integritas Penghulu)

  1. Eksistensi, Kinerja dan Integritas Penghulu

            Tugas pokok Kementerian Agama adalah menyelenggarakan Sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan yang salah satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan bagi umat Islam, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Untuk melaksanakan tugas tersebut dan melaksanakan amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa telah ditetapkannya Pegawai Pencatat Nikah yang sehari-hari dalam masyarakat dikenal dengan sebutan Penghulu (Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2005: 1).

          Pengertian Penghulu berdasarkan PMA Nomor 30 Tahun 2005, Penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan (Bidang Urais Kemenag Kanwil Provinsi Banten, 2012: 1). Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 disebutkan, Penghulu adalah pegawai Aparatur Sipil Negara yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam (PMA Nomor 30 Tahun 2024 Bab I, Pasal 1 ayat 3).

Gambar 2: Pelaksanaan pengawasan dan pencatatan nikah di Balai Nikah/KUA

         Tugas-tugas penghulu berkaitan dengan penerapan ajaran dan syariat agama Islam di bidang pernikahan/perkawinan tidak sekedar sebuah acara seremonial, namun tugas-tugas tersebut juga menjadi sarana perwujudan keta’atan seorang muslim dan pengikat ikatan suci lahir-bathin antara seorang pria dan seorang Wanita. Pernikahan/perkawinan merupakan pintu gerbang seseorang untuk memulai dan membentuk sebuah kehidupan baru dan bahagia dan Sejahtera serta menciptakan generasi penerus yang berkualitas (Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2005: 3).

         Pada Permenpan RB Nomor 9 Tahun 2019 ini, tugas jabatan fungsional penghulu lebih ditingkatkan untuk pengembangan karier dan peningkatan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang yang lebih luas lagi dari Permenpan sebelumnya, yaitu melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam. Pada peraturan ini, tugas penghulu tidak hanya terkait dengan urusan pernikahan, tetapi lebih mendalam dan luas lagi, yaitu Bimbingan Masyarakat Islam sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan Penghulu meliputi pembelajaran dan pembinaan masyarakat Islam. Oleh karena itu, jabatan fungsional penghulu merupakan jabatan fungsional kategori keahlian.

          Dengan demikian, tugas penghulu dengan memberikan bimbingan masyarakat Islam, maka perannya semakin luas dan lebih banyak memberikan pelayanan masyarakat Islam. Peran penghulu yang pada mulanya notabene bertanggung-jawab sebagai pencatat pernikahan telah meluas. Dalam pelayanan pernikahan, Penghulu sering kali harus hadir kapan saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik itu untuk menikahkan pasangan, mengurus administrasi pernikahan, ataupun menyelesaikan urusan lain yang terkait dengan agama. Penghulu tidak hanya berfokus pada satu aspek saja, melainkan memiliki banyak tanggung jawab, mulai dari memimpin pernikahan, memberikan nasihat agama, hingga menyelesaikan sengketa keluarga, yang memerlukan pemahaman mendalam tentang hukum agama dan sosial.

         Sebagai pemimpin agama, Penghulu juga sering bertugas memberikan pembimbingan spiritual kepada masyarakat, yang tidak mengenal waktu atau tempat, karena urusan rohani/spiritual sering kali muncul di waktu yang tidak terduga. Tugas penghulu tidak terbatas pada jam kerja biasa, namun sering kali mereka harus bekerja di luar jam kantor untuk memastikan segala proses berjalan dengan lancar, terutama dalam situasi darurat atau kebutuhan mendesak. Penghulu memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat, terutama dalam konteks pernikahan, administrasi keluarga, dan berbagai permasalahan agama. Kinerja penghulu mencakup pelayanan yang bersifat 24 jam, karena mereka sering kali dihadapkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan harus siap melayani kapan saja.

          Tugas penghulu yang tak kenal waktu menunjukkan komitmen dan integritas mereka terhadap masyarakat. Mereka selalu siap memberikan pelayanan terbaik (exelent service) demi kebaikan umat, terlepas dari waktu, cuaca, atau kesulitan yang ada. Sebagai penghulu, mereka memiliki beban kerja yang tidak terbatas pada jam kerja biasa, dan sering kali mereka harus bekerja di luar jam kantor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mendesak, mereka sering kali terlibat dalam pernikahan yang harus dilaksanakan segera, tanpa mempedulikan waktu atau hari libur, yang membuat waktu libur menjadi barang langka dan berharga bagi penghulu.

Gambar 3: Medan juang ekstrim yang harus dilalui penghulu untuk sampai ke tempat akad nikah

           Karena sifat pekerjaan yang sangat mengandalkan kehadiran langsung, kehidupan pribadi seorang penghulu sering kali terabaikan. Mereka tidak dapat selalu mengatur waktu untuk beristirahat atau menikmati waktu bersama keluarga, karena tuntutan pekerjaan yang terus-menerus. Eksistensi kinerja penghulu yang tak kenal waktu menggambarkan dedikasi dan komitmen seorang penghulu dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dalam urusan agama dan pernikahan. Eksistensi penghulu yang tak kenal waktu adalah bukti nyata bahwa integritas mereka bukan kaleng-kaleng dan tidak diragukan lagi dalam berkhidmat kepada masyarakat, mereka tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual yang sangat dihormati dalam masyarakat.

  1. Penghulu dan PNBP NR

         Selain peraturan yang khusus mengatur tentang wajibnya pencatatan pernikahan dalam suatu peristiwa pernikahan, ada pula peraturan yang mengatur khusus tentang biaya pencatatan pernikahan. Dalam hal ini akan disinggung beberapa peraturan yang mengatur tentang biaya pencatatan nikah. Peraturan-peraturan tersebut antara lain: Ketetapan Menteri Agama (KEMA) nomor 122 tahun 1978 tentang biaya pencatatan nikah, Peraturan Menteri Agama (PERMA) nomor 71 tahun 2009 tentang pengelolaan biaya pencatatan nikah dan rujuk, PP No. 47 Tahun 2004, PP No. 48 Tahun 2014, dan PERMA No. 24 Tahun 2014. Ada juga yang menyebutkan peraturan lain yang mengatur tentang biaya pencatatan nikah ini, peraturan itu yakni UU No. 22 Tahun 1945 Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi: “Seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Menteri Agama”.

           Peristiwa seorang penghulu di Kota Kediri menjadi tersangka melakukan gratifikasi karena menerima uang dari keluarga calon pengantin melebihi ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 47 Tahun 2004 telah menimbulkan reaksi dari mayoritas penghulu di Indonesia. Dengan adanya peristiwa tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan baru PP No. 48 Tahun 2014 yang merupakan PP pengganti PP No. 47 Tahun 2004. PP No. 48 Tahun 2014 ini memuat tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak biaya nikah dan rujuk yang berlaku di Kementrian Agama. Aturan ini mulai berlaku per 10 Juli 2014. Lahirnya PP ini untuk peningkatan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk, perlu dilakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementrian agama sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama. Dengan pertimbangan tersebut, maka perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang perubahan atas PP no. 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departeman Agama

         Terlepas dari berbagai ketentuan hukum atau peraturan yang mengatur dan mengharuskan adanya suatu pencatatan pernikahan yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang telah dijelaskan di atas, maka lahirlah PP No. 48 Tahun 2014 yang disahkan pada tanggal 27 Juni 2014, yang merevisi peraturan sebelumnya PP No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Agama. Biaya pencatatan nikah dan rujuk, biasa disingkat NR, yang diatur dalam PP No. 47 Tahun 2004 dengan besaran Rp 30.000,00 per peristiwa. Biaya riil pencatatan pernikahan yang telah di tetapkan oleh Kementerian Agama sebesar 30 ribu rupiah, memang layak dipertanyakan. Untuk ukuran sebuah kegiatan yang membutuhkan profesionalitas, biaya tersebut sangatlah tidak layak. Karena suatu pencatatan adalah momentum di mana sepasang pengantin memperoleh legalitasnya untuk hidup bersama dalam suatu ikatan lahir batin. Peristiwa demikian hanya terjadi sekali seumur hidup.

         Setelah berlaku selama 10 tahun, PP No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementerian Agama akhirnya direvisi. Perubahan yang ditetapkan di dalam PP Nomor 48 tahun 2014 diantaranya yaitu adanya multi tarif yang dikenakan kepada masyarakat yang akan menikah ataupun rujuk. Di dalam Pasal 6 PP Nomor 48 tahun 2014, penetapan biaya nikah atau rujuk adalah: 1) Nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama pada hari dan jam kerja dikenakan tarif Rp. 0 (nol) rupiah. 2) Nikah di luar Kantor Urusan Agama dan atau di luar hari dan jam kerja dikenakan tarif Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah). 3) Bagi warga tidak mampu secara ekonomi dan warga yang terkena bencana alam dikenakan tarif Rp. 0 (nol) rupiah dengan melampirkan persyaratan surat keterangan dari Lurah/ Kepala Desa.

            Salah satu pertimbangan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebagaimana diatur dalam PP ini adalah untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk. Tentu masyarakat ingin tahu peningkatan pelayanan seperti apa yang akan dilakukan oleh PPN dengan biaya yang telah dinaikan oleh pemerintah.

          Senada dengan tujuan awal diterapkannya jasa profesi dan transpor, maka kebijakan ini dinilai mampu meminimalisasi adanya pungutan liar (pungli) dan gratifikasi, dengan cara memberikan alokasi biaya jasa profesi dan transpor bagi petugas layanan nikah di luar KUA Kecamatan, sebagaimana disebutkan dalam PMA Nomor 46 Tahun 2014 Pasal 17 Ayat 2 huruf (a) dan (b) dan PMA Nomor 12 Tahun 2016 Pasal 17 Ayat 2 huruf (a) dan (b) Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk Di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan.  Selain itu, adanya kejelasan tarif pelaksanaan layanan pernikahan di luar KUA bagi masyarakat juga semakin mempersempit celah pungli dan gratifikasi. Akan tetapi, seperti halnya kebijakan lainnya, penerapan PNBP-NR ternyata juga memunculkan kecemburuan, khususnya dengan bertambahnya pundi-pundi penghulu. Setelah diterapkannya jasa profesi dan transpor, penghulu memiliki penghasilan dari sumber lainnya selain gaji, tunjangan keluarga, uang makan dan tunjangan kinerja.

          Jika dirunut secara mendalam, maka PNBP-NR yang lebih besar dialokasikan untuk jasa profesi dan transpor penghulu telah melahirkan beberapa masalah sosial, di antaranya:

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *