- Munculnya kecemburuan sosial di tingkat KUA akibat tingkat kesejahteraan penghulu, sementara sektor lain yang juga berkontribusi terhadap layanan KUA tidak mendapat kesejahteraan serupa. KUA sendiri memiliki tugas tidak hanya mencatat pernikahan, melainkan juga melayani bidang zakat, wakaf, haji, dan penyuluhan. Peningkatan income penghulu menjadi isu yang membuat penghulu dan pegawai lainnya kian berjarak.
- Munculnya maladministrasi yang mendorong calon pengantin untuk melaksanakan pernikahan di luar kantor, dengan harapan akan menambah take home pay penghulu.
- Pendistribusian penugasan layanan nikah di luar kantor yang tidak proporsional, sehingga menimbulkan terjadi persaingan antar-penghulu pada satu KUA. Dalam beberapa kasus, Kepala KUA mendominasi pelaksanaan layanan nikah di luar kantor dibandingkan dengan penghulu lainnya di kantor yang sama.
- Pendistribusian SDM penghulu yang kurang merata. Sebanyak 5.945 KUA yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kondisi demografi dan geografis yang berbeda-beda, terdapat Sebagian KUA berada di wilayah perkotaan dengan peristiwa nikah yang tinggi. Namun demikian, terdapat Sebagian KUA berada di wilayah kabupaten bahkan terdapat di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dengan jumlah peristiwa nikah yang rendah. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan antar-petugas layanan nikah. Petugas layanan nikah pada KUA tipologi A akan mendapatkan lebih banyak jasa profesi dan transport dibandingkan dengan petugas layanan nikah ada KUA tipologi D1 atau D2, meskipun hal tersebut seiring dengan beban tugasnya.
- Kepala KUA sangat berorientasi terhadap pundi-pundi jasa profesi dan transpor, sehingga melupakan fungsi manajerial KUA, di mana di dalamnya terdapat tugas KUA sesuai dengan PMA Nomor 34 Tahun 2016 (Terbaru PMA No.24 Tahun 2024) Tentang Ortaker KUA. Hal ini jelas melemahkan fungsi manajerial KUA sehingga tujuan Peraturan Menteri Agama tersebut tidak terlaksana secara baik.
Alternatif kebijakan dari beberapa alternatif yang akan disajikan di atas sebagai bahan pengambilan kebijakan di atas, maka Ditjen Bimas Islam telah berupaya untuk memberikan solusi pengganti bagi para penghulu atas kebijakan penghapusan atau penyesuaian jasa profesi dan transpor, dengan mengusulkan penyesuaian tunjangan fungsional penghulu, yang sejak 16 tahun lalu belum pernah diusulkan penyesuaian. Tunjangan fungsional penghulu jauh tertinggal dibandingkan dengan tunjangan sejenis lainnya, sekalipun pada rumpun yang sama. Regulasi terakhir yang memuat tunjangan fungsional penghulu diatur dalam Peraturan Presiden Nomr 73 Tahun 2007. Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk kesejahteraan penghulu mengeluarkan Perpres Nomor 108 Tahun 2014 dan PMA Nomor 49 Tahun 2014 tentang besaran Tunjangan Kinerja Kementerian Agama serta PMA Nomor 51 Tahun 2014 tentang Nilai dan Kelas Jabatan Struktural dan Fungsional pada Kementerian Agama, yang tentu akan menambah take home pay penghulu.
Salah satu pertimbangan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 48 tahun 2014 ini adalah untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk, dengan cara memberikan alokasi biaya jasa profesi dan transpor bagi petugas layanan nikah di luar KUA Kecamatan. Selain itu, adanya kejelasan tarif pelaksanaan layanan pernikahan di luar KUA bagi masyarakat juga semakin mempersempit celah pungli dan gratifikasi.
Namun, pada kenyataannya dua tahun terakhir pencairan tunjangan transportasi dan jasa profesi tersebut tersendat atau tertunggak, bahkan tahun 2024 tunjangan jaspro dan transport tersebut terhutang sampai satu tahun. Sengkarut tertunggaknya tunjangan transportasi dan jasa profesi untuk penghulu menjadi persoalan yang senantiasa berulang dari tahun ke tahun. Seluruh penghulu itu merupakan ASN golongan 3A, sama seperti pegawai ASN lain, mereka tiap bulan mendapat gaji pokok, uang makan, uang tunjangan kinerja, lalu menerima tambahan berupa dana Jaspro dan transport. Pendapatan tambahan berupa Jaspro dan uang transport itu sangat berdampak dalam menunjang kinerja penghulu karena para penghulu hampir sering tetap terus bekerja melayani masyarakat di hari libur, bahkan pada malam hari, di saat orang-orang liburan, di saat orang-orang sudah sampai di rumah, kita justru masih ada pelayanan.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Dirjen Bimas, terlihat dengan jelas bahwa banyak program dan kegiatan yang dibebankan pembiayaannya kepada PNBP NR. Padahal kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah tujuan organik dari penggunaan PNBP NR sesuai amanat PP 48 Tahun 2014 jo PP 19 Tahun 2015 jo PP 59 Tahun 2018, yaitu untuk transportasi dan jasa profesi petugas pencatat nikah. Berdasarkan data kegiatan-kegiatan yang pembiayaannya dibebankan dan menyerap dana PNBP NR tersebut adalah pengadaan tanah KUA, rehab KUA, program mandatory, moderasi beragama, gerakan keluarga maslahat, sertifikasi halal, dan kompetisi film pendek Islami.
Dalam kasus tertunggaknya PNBP NR, hak para penghulu hanyalah sebagian dari seluruh nominal Rp. 600.000 yang disetorkan ke kas negara. Dari 80 % yang dikembalikan kepada Kemenag senilai Rp. 480.000, setoran PNBP NR yang kembali untuk transportasi dan jasa profesi hanyalah rata-rata Rp. 300.000 per N. Dengan demikian, masih ada sisa Rp. 180.000,- yang bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain selain transportasi dan jasa profesi penghulu. Di samping itu, sesuai amanat Peraturan Pemerintah dan Kepdirjen Bimas Islam Nomor 600 Tahun 2016, pencairan PNBP mestinya diprioritaskan terlebih dahulu untuk transportasi dan jasa profesi penghulu. Pada saat yang sama, para penghulu seringkali dijadikan obyek kebijakan bahwa mereka harus taat regulasi. Saat mereka sedikit melakukan kesalahan, langsung diviralkan, dan seolah seluruh penghulu ikut bersalah. Namun di saat yang sama, para penghulu juga disodorkan oleh fenomena bagaimana para pemangku kebijakan justru tidak taat regulasi.
Sebenarnya para penghulu tetaplah para pegawai negeri yang mesti taat kepada pimpinan. Saat para pimpinan mereka memiliki kebijakan yang bagus tentu saja mereka akan mendukung. Namun saat kebijakan-kebijakan itu justru menggerogoti hak-hak mereka, tentu saja mereka pun berhak untuk melakukan protes.
C. PENUTUP
Penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Penghulu memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat, terutama dalam konteks pernikahan, administrasi keluarga, dan berbagai permasalahan agama. Kinerja penghulu mencakup pelayanan yang bersifat 24 jam, karena mereka sering kali dihadapkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan harus siap melayani kapan saja.
Sebagai penghulu, mereka memiliki beban kerja yang tidak terbatas pada jam kerja biasa, dan sering kali mereka harus bekerja di luar jam kantor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mendesak, mereka sering kali terlibat dalam pernikahan yang harus dilaksanakan segera, tanpa mempedulikan waktu atau hari libur, yang membuat waktu libur menjadi barang langka dan berharga bagi penghulu. Keluh-kesah keluarganya, mereka abaikan. Rengekan sang buah hati untuk bisa mengisi hari libur bersama, mereka jawab dengan bujukan yang halus meski sambil berlinang air mata. Terkadang sang penghulu harus berangkat pagi buta di hari libur untuk melaksanakan tugas negaranya di saat sang buah hati masih tertidur lelap dan tak jarang pula ketika pulang sudah larut malam ke rumahnya sang buah hati pun sudah tertidur juga. Itulah Penghulu, Sang abdi negara dan Khadimil Ummat Minadhulumati iladdhulumati (berangkat kerja dalam keadaan masih gelap, dan pulang kerja sudah gelap/larut malam).
Jadi tidak masuk akal dan di luar logika yang sehat apabila ada yang mengatakan adanya kecemburuan sosial dari pegawai yang lainnya dengan meningkatnya income dan kesejahteraan penghulu terkait dengan adanya tunjangan jaspro dan transport penghulu dari dana PNBP NR. Pendapatan tambahan berupa jaspro dan transport itu merupakan hal yang wajar dan memang seharusnya karena hasil jerih payah penghulu yang menggadaikan hari libur untuk keluarganya, sesuai dengan kaidah fiqih: “al-Ajru biqodril masyaqah” (upah diberikan sesuai dengan kadar kesulitannya).
Terkait adanya wacana penghapusan atau penyesuaian jasa profesi dan transport penghulu dari dana PNBP NR dengan mengusulkan penyesuaian tunjangan fungsional penghulu dan tunjangan kinerjanya, maka itu upaya dari para pemangku kebijakan yang tentu akan ditaati oleh semua pegawai termasuk penghulu. Terlepas dari itu semua baik itu nanti dengan dihapusnya jaspro dan transport tersebut atau mungkin akan tetap dipertahankannya, hendaknya pencairan tunjangan jaspro dan transport tersebut jangan sampai tersendat/terhutang, jangan pula dikurangi kalau tidak bisa menambah atau menaikan jaspro dan transport tersebut karena akan melukai hati para penghulu yang sudah berjibaku sebagai pejuang PNBP NR (U’tul Ajiro Ajrohu Qobla An Yazifa ‘Aroquhu), apalagi jika kemudian pelayanan pencatatan nikah/rujuk diarahkan pada jam kerja saja, jadi para penghulu bisa menikmati hari liburnya bersama keluarga tercinta.
Dengan adanya wacana penghapusan jaspro dan transport tersebut dengan kemudian diikuti dengan kenaikan tunjangan jabatan dan tunjangan kinerjanya tentu ini disambut gembira oleh bukan hanya oleh penghulu tetapi juga oleh ASN Kementerian Agama tentunya, karena kalau memang harus dan boleh “cemburu” para penghulu dan ASN Kementerian Agama merasa tunjangan jabatan dan tukin ini sangat jauh sekali jika dibandingkan dengan para ASN instansi-instansi pemerintah lainnya.
Akhirnya, penghulu sebagai abdi negara/ASN akan tetap mendukung dan menta’ati kebijakan yang akan diambil pimpinan/pemangku kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawainya, dan sebagai khadimil ummat akan selalu siap memberikan pelayanan terbaiknya untuk masyarakat (exelent service).