Perkawinan termasuk suatu perbuatan hukum, sehingga jika terjadi suatu masalah yang menimbulkan akibat hukum kepada dua orang yang sudah membuat kesepakatan misalnya pihak istri atau suami harus menanggung konsekuensinya. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 33 menyatakan maka Perkawinan wajib hukumnya sepasang suami istri mencintai satu sama lain, menghargai, dan membantu kepada sesama[6]. Di dalam perkawinan tidak menjamin bahwa kebahagiaanlah yang dirasakan selamanya, pasti ada berbagai macam rintangan yang dihadapi seperti sedih, berduka, salah paham dan sebagainya (Suryaningsi & Muhammad, 2020).
Keluarga merupakan bagian dari masyarakat yang lahir dan berada di dalamnya, secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan. Ciri-ciri umum keluarga antara lain seperti dikemukakan oleh Mac Iver dan Page yaitu :
- Kebersamaan, keluarga merupakan bentuk yang hampir paling universal diantara bentuk-bentuk organisasi sosial lainnya. Hampir setiap keadaan manusia mempunyai keanggotaan dari beberapa keluarga.
- Dasar-dasar emosional, hal ini didasarkan pada suatu dorongan yang sangat mendalam dari sifat organis manusia seperti perkawinan, menjadi ayah, kesetiaan akan maternal dan perhatian orang tua
- Pengaruh perkembangan, hal ini merupakan lingkungan kemasyarakatan yang paling awal dari semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, termasuk manusia, dan pengaruh perkembangan yang paling besar dalam kesadaran hidup yang merupakan sumbernya
- Ukuran yang terbatas, keluarga merupakan kelompok yang terbatas ukurannya, yang dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis yang tidak dapat lebih tanpa kehilangan identitasnya. Oleh sebab itu keluarga merupakan skala yang paling kecil dari semua organisasi formal yang merupakan struktur sosial, dan khususnya dalam masyarakat yang sudah beradab dan keluarga secara utuh terpisah dari kelompok kekerabatan
- Tanggungjawab para anggota, keluarga memliki tuntutan-tuntutan yang lebih besar dan kontinyu daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi-asosiasi lainnya
- Aturan kemasyarakatan, hal ini khususnya terjaga dengan adanya hal-hal tabu di dalam masyarakat dan aturan-aturan sah yang dengan kaku menentukan kondisi-kondisinya
- Sifat kekekalan dan kesementaraannya, sebagai institusi, keluarga merupakan suatu yang demikian permanen dan universal, dan sebagai asosiasi merupakan organisasi yang paling bersifat sementara dan yang paling mudah berubah dari seluruh organisasi-organisasi penting lainnya dalam masyarakat.[7]
C. Kaitan HAM dengan Keluarga
HAM berkaitan erat dengan keluarga memiliki tujuan untuk melindungi antar anggota keluarga dalam tindakan yang tidak diinginkan seperti halnya pertengkaran dan konflik dalam keluarga, kesalah pahaman dan sebagainya. Apabila hubungan dalam keluarga kurang baik maka besar kemungkinan interaksi sosial pun tidak berlangsung secara baik, sehingga kemungkinan terjadinya konflik dalam keluarga sangat besar
Konflik biasanya terjadi dalam Keluarga ketika ada upaya dalam anggota keluarganya untuk memeperebutkan sumber-sumber daya yang langka. Misalnya uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan untuk memainkan peran tertentu. Bahkan para keluarga sering memperundingkan atau mengadakan tawar menawar dalam mencapai tujuan yang saling berkompetisi. Sehingga interaksi konflik yang terjadi adalah interaksi yang sifatnya verbal sampai kepada yang bersifat fisik.
Kondisi tersebut tidak jarang menjadikan ajang konflik bagi kepentingan yang saling bertentangan sehingga akan mempengaruhi keharmonisan berinteraksi dalam keluarga. Sehubungan dengan itu seorang ahli sosiologi, Jetse Sprey mengemukakan bahwa konflik lebih sering terjadi dibandingkan dengan gejala harmonis.
Adapun HAM dalam mencegah dan melindungi konflik dalam keluarga sesuai dengan pasal 30 Undang-undang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman[8] dan juga dalam pasal 33 ayat 1 Undang-undang Hak Asasi Manusia di sebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia.[9]
D. Contoh Kasus Pelanggaran HAM dalam keluarga
Banyak Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di lingkungan keluarga seperti halnya Kekerasan pada anak, kekerasan dalam rumah tangga serta patriaki.
a. Kekerasan pada anak
Kekerasan anak menurut Patilima (2003) adalah tindakan yang salah dari orangtua. Tindakan yang salah yaitu segala kegiatan yang dilakukan terhadap anak yang mengakibatkan dari kekerasan yang mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, maupun mental anak. WHO menjelaskan kekerasan merupakan penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan terhadap seseorang yang dapat mengakibatkan luka, kematian, kelainan psikologis, dan kelainan dalam perkembangan diri.
Kekerasan merupakan padanan makna dari istilah violence yang secara etimologi merupakan gabungan dari vis yang mengandung makna daya atau kekuatan dan latus yang berasal dari kata ferre yang mengandung makna membawa. Berdasarkan hal tersebut maka, violence merupakan tindakan yang membawa kekuatan untuk melakukan paksaan atau tekanan fisik maupun non fisik (Maidin Gultom, 2012:14). Kekerasan tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga secara mental bahkan secara pasif atau tidak melakukan apapun juga dapat menghasilkan dampak yang sama dengan yang ditimbulkan kekerasan (Nyoman Mas Aryani, 2016:21).[10]
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menjelaskan bahwa yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya[11]. Kekerasan terhadap anak merujuk pada perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum[12].
Kasus kekerasan anak dapat terjadi di lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga dan sekolah. Kasus kekerasan tersebut paling banyak terjadi di lingkungan keluarga mereka dan terjadi pada anak yang berusia 6 – 12 tahun. Kasus kekerasan fisik itu terjadi dikarenakan penyebab dari kenakalan anak, dendam atau emosi, faktor ekonomi, dan persoalan keluarga. Keluarga seharusnya merupakan tempat dimana pertama kalinya anak mengenal aturan dan memberikan perlindungan terhadap anak.
Untuk itu perlu adanya Perlindungan hukum bagi anak yang memiliki ruang lingkup mencakup perlindungan terhadap kebebasan anak, perlindungan terhadap hak asasi anak, dan perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraannya (Barda Nawawi Arief, 1998:153). Hal itu sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan perlindungan yang diberikan kepada anak bahwa, setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan[13]. Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
b. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.