Juwita, bilur-bilur sepi memang sedang menyelusup di relung hatiku. Meski hanya untuk sementara, kesendirian ini memang sempat membuatku tertawan dalam jeruji sunyi. Tapi, bukan berarti kumiliki sejumput keberanian untuk menyulih kesepianku dengan tindakan nista. Jujur kuungkapkan, aku tersanjung dengan tawaran cintamu padaku. Namun dengan jujur pula kukatakan, aku tak kuasa membelah cintaku untuk perempuan lain selain ibu dari kedua anakku.

Juwita, ia memang tidak sepintar dirimu dalam bersolek. Tubuhnya memang tak seindah tubuhmu. Ia memang tidak pandai menyunggingkan senyum yang menggoda. Tapi, cintanya padaku sudah diuji oleh sang waktu. Dibasuh oleh genangan darah dan isak air mata. Pahit getir hidup telah kukecap bersama dengannya. Sungguh, aku adalah lelaki tak tahu di untung tatkala mulai memetik buah manis hidup, aku justru menikmatinya bersama perempuan lain.

Juwita, kusadari sepenuhnya, aku lelaki biasa yang bisa terseret dalam derasnya arus godaan dunia. Kuakui, kau memang menebarkan sejuta daya pikat. Namun, aku masih menyimpan tabungan takut pada Sang Pemilik Hidup. Tak kuasa kusambut uluran kasihmu. Rawatlah saja bunga cintamu pada lelaki yang telah mengayuh biduk rumah tangga bersamamu. Setangkup asa yang kau genggam untukku hanya akan menjelma sebilah pedang yang merobek jantungmu.

Biarlah aku dicibir sebagai lelaki pilon yang mencampakkan kesempatan emas. Biarlah aku dituding lelaki pecundang yang tak bernyali menantang badai dosa. Simpan saja segenap bujuk rayumu untuk memadu asmara denganku. Sungguh, betapa nistanya diriku jika aku terperosok untuk mencoreng kehormatanmu dan kehormatanku.

Belajarlah untuk merenda setia, Juwita, sebagaimana aku juga sedang belajar untuk merendanya. Kau pernah merasakan betapa pahitnya disodori empedu pengkhianatan, hingga kau pun menginsyafi betapa manisnya makna kesetiaan. Tak ada keagungan cinta yang tak diuji dengan kesetiaan. Tak ada kesetiaan yang tak diuji oleh kesepian. Jika kau lulus dalam ujian ini, kelak kau akan menyadari betapa indahnya cinta.

Karena itulah, akhiri saja petualanganmu. Kau tak kan pernah menemukan lelaki yang mampu memuaskan gairahmu. Berusahalah mensyukuri pasangan yang telah Tuhan pilihkan untukmu. Terimalah apa adanya keadaan dirinya, sebagaimana aku juga berupaya menerima apa adanya keadaan perempuan yang selama ini mengarungi samudra hidup bersamaku.

Berikan saja keindahan tubuhmu untuk lelaki yang telah mengucap janji setia denganmu. Tak usah kau pamerkan di depanku yang tidak berhak menikmatinya. Jangan kau rendahkan dirimu dengan mengiba cintaku padamu. Tak perlu kau jual murah kehormatanmu untuk meraih kenikmatan semu yang hanya akan menuai nestapa di ujung cerita.

Juwita, selaksa maaf kuhaturkan untukmu. Kusadari keadaan diriku, aku bukanlah lelaki idamanmu yang sanggup menuntaskan dahaga gairahmu yang senantiasa bergelora. Aku juga tak bisa membangun istana renjana bersamamu di atas puing-puing pengkhianatan. Tak sanggup kubayangkan, kau masih melambaikan tangan pada setiap lelaki yang memikat hatimu saat kau duduk mendampingku. Tak kuasa kulihat kau beringsut dari hidupku saat aku sudah tak mampu menenangkan gemuruh hasratmu.

Sudahlah, Juwita, jadilah istri yang setia dan ibu yang baik. Suamimu masih mendambakan gairah cintamu. Anakmu masih memerlukan belaian kasih sayangmu. Tak perlu lagi kau berlari mengejar kebahagiaan hampa yang hanya akan berbuah luka. Biarkan aku menghindar dari pusaran hidupmu. Biarkan aku terpejam dari kerling indah bola matamu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *