- Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah.
- Bila ternyata perkawinn tidak dsetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinannya itu tidak dpt dilangsungkan.
- Bagi Calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Dalam Undang-Undang Perkawnan Nomor 1 Tahun 1974 Bab II pasal 6 tentang syarat-syarat perkawinan disebutkan:
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Demikian regulasi yang mengatur tentang pentingnya permohonan persetujuan atau isti’dzan yang memperkuatkan pelaksanaan isti’dzan yang selama ini sudah mengakar pada masyarakat dan sudah menjadi “kearifan lokal” atau “Local wisdom” yang dipandang baik pada pelaksanaan akad nikah, khususnya di masyarakat wilayah Banten dan sekitarnya.
C. PENUTUP
Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Salah satu faktor yang menjadi unsur dari kebahagian rumah tangga adalah apabila dalam pernikahannya, calon suami dan istri saling mencintai dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga, terutama kedua orang tua calon pengantin. Isti’dzan atau persetujuan ini sangat penting agar masing-masing suami-istri ketika memasuki gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional. Dengan demikian, tujuan perkawinan dapat tercapai.
Memperhatikan praktek isti’dzan yang biasanya dilakukan dalam pernikahan di masyarakat provinsi Banten atau mungkin juga terjadi di daerah lainnya, nampaknya tradisi ini bisa dikatakan kearifan lokal (local wisdom) yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Walhasil, tradisi sebelum akad nikah di mana anak gadis meminta kepada walinya untuk menikahkan dirinya dengan lelaki pilihannya atau wali meminta izin dan persetujuan anak gadisnya untuk dinikahkan dengan lelaki pilihannya adalah sesuatu yang baik dalam konteks pemanusiaan perempuan, dan memosisikan perempuan sebagai subjek. Intinya, keputusan nikah atau tidak, dan menikah dengan siapa berada pada izin dan persetujuan anak perempuan yang akan menjalani kehidupan rumah tangga pasca akad nikah.
Menurut saya, ini tradisi yang keren dan bagus sekali, anak perempuan memegang otoritas untuk menikah, sementara wali pihak yang diminta untuk menikahkannya. Meskipun saya tahu ini pada umumnya hanya formalitas saja, karena hakekatnya sudah diselesaikan di balik panggung sebelum akad nikah, baik ketika atau sebelum pernikahan di daftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA), tapi tradisi ini menunjukkan penghargaan yang tinggi pada kaum perempuan. Isti’dzan yang sudah menjadi kearifan lokal dan menjadi hukum kebiasan di masyarakat (al ‘adatu muhakkamah) ini pun diamini oleh peraturan perundanga-undangan yang mengatur masalah pernikahan di Indonesia, seperti Undang-Undang Perkawianan Nomor 1 Tahun 1974 Bab II Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), KHI Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), dan KHI Pasal 17 ayat 1-3.
REFERENSI :
- Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran, Jakarta, 2004.
- Ahmad Rofiq, Drs, MA. “Hukum Islam Di Indonesia”. Jakarta, PT RajaGrafindo, Cet.2, 1992.
- Andi Sjamsu, Alam. Usia Ideal untuk Kawin, sebuah Ikhtirar Mewujudkan Keluarga Sakinah, (Jakarta : Kencana, 2006)
- Abdurrahman, H, SH, MH. “Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia”. Jakarta, Akademika Pressindo, 1992.
- Muhammad Ibn Isma’il al-San’any, Subul al-Salam, Juz 3, Kairo: Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1379 H/1980, hal. 122).
- https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/perbedaan-hak-perawan-dan-janda-soal-akad-nikah-o0yOH
- “Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974”. Surabaya, PT Pustaka Tinta Mas, 1997.
- Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, “al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’I, Damaskus: Dar al-Qalam, 1992, juz II, hal. 429-430.
==========
*) Penulis adalah Penghulu Ahli Madya Pada KUA Kecamatan Pakuhaji Kab.Tangerang Provinsi Banten