Oleh :
Khaerul Umam, S.Ag*)
Ketika Sang tamu agung yaitu Ramadhan tiba, sebulan penuh umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Sebulan itu, bisa sebanyak 29 hari, atau digenapkan menjadi 30 hari. Dalam rentang sebulan, terbagi menjadi 3 tahapan: 10 hari pertama merupakan periode turunnya ampunan, 10 hari kedua adalah masa turunnya Rahmat, dan 10 hari ketiga merupakan tahapan terbebasnya kita dari api neraka. Beragam-macam ibadah dilakukan oleh umat Islam di bulan suci ini. Bukan hanya puasa sehari penuh, tetapi juga dilengkapi dengan shalat tharawih, tadarus, itikaf, berdzikir, dan ibadah lainnya. Keragaman bentuk ibadah, disertai dengan keragaman dalam tata-cara beribadah, seperti dalam shalat tharawih misalnya.
Pada umumnya, ada kesamaan dalam cara pelaksanaan shalat tharawih. Yang pasti, dilaksanakan setelah menunaikan shalat Isya. Sementara perbedaannya adalah, pada sebagian umat Islam, shalat tharawih dilaksanakan dengan bilangan rakaat yang berbeda. Ada yang melaksanakan sebanyak 8 rakaat shalat tharawih, dan 3 rakaat shalat witir, jadi semuanya berjumlah 11 rakaat. Ada juga yang melaksanakannya sebanyak 20 rakaat shalat tharawih, dan 3 rakaat shalat witir, jadi semuanya berjumlah 23 rakaat. Pelaksanaan salat tarawih dengan jumlah rakaat 11, dilakukan dengan 3 kali shalat: Shalat tharawih pertama terdiri dari 4 rakaat, begitupun pada shalat tharawih yang kedua dan shalat ketiga merupakan shalat witir yang terdiri dari 3 rakaat. Biasanya, sebelum pelaksanaan shalat tarawih, diawali dengan ceramah agama yang disampaikan secara singkat. Ceramah agama itu kemudian diulang kembali pada saat menjelang shalat tharawih kedua dan sebelum shalat witir. Ceramah agak panjang, biasanya dilakukan usai shalat witir. Seluruh rangkaian shalat tharawih itu kemudian diakhiri dengan doa bersama dan ditutup dengan saling bersalaman antar jamaah disertai ucapan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada pelaksanaan shalat tarawih dengan jumlah 23 rakaat, terdiri dari 10 kali shalat tharawih, satu kali shalat witir dengan 2 rakaat, dan terakhir salat witir dengan 1 kali rakaat. Untuk memudahkan dalam mengingat bacaan ayat-ayat Al-Quran dalam setiap rakaat, biasanya dimulai dengan Surat At-Takatsur pada shalat tharawih pertama dan rakaat pertama. Kemudian Surat Al-Ikhlas pada rakaat kedua. Pada rakaat kedua dalam shalat tharawih selanjutnya, biasanya “konsisten” membaca Surat Al-Ikhlas. Sementara pada saat rakaat pertama, ayat-ayat Al-Quran yang dibaca berurutan hingga Surat Al-Lahab.
Ketika melaksanakan shalat witir dengan 2 rakaat, biasanya imam bebas memilih surat dalam Al-Quran. Uniknya, pada saat mengerjakan shalat witir dengan 1 rakaat –merupakan shalat terakhir- imam membaca Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas secara sekaligus. “Ketentuan” tersebut –membaca ayat-ayat Al-Quran secara berurutan dari Surat At-Takatsur hingga Al-Lahab- jarang terjadi pada pelaksanaan shalat tharawih dengan 11 rakaat. Biasanya, shalat tharawih dengan 11 rakaat leluasa untuk membaca ayat-ayat Al-Quran. Bukan saja surat-surat yang tercantum dalam Juzz ‘Amma, namun juga bisa menggunakan surat-surat dalam juzz lain.
Ketika Ramadan memasuki hari ke-15, terjadi perubahan kebiasaan pada pelaksanaan shalat tharawih dengan 23 rakaat, namun tidak terjadi pada shalat tharawih dengan 11 rakaat. Perubahan itu adalah bergesernya dan bergantinya “posisi” bacaan surat dalam setiap rakaat. Pada rakaat pertama, biasanya imam memilih surat Al-Qadr (kemuliaan). Surat ini kemudian dibaca dalam setiap rakaat pertama. Sementara pada rakaat kedua, berurutan mulai Surat At-Takatsur hingga Al-Lahab. Tambahan “ritual” di tahap ini adalah adanya doa qunut pada rakaat terakhir salat witir. Tentu saja tata-cara dan kebiasaan pelaksanaan salat tarawih yang beragam ini masing-masing memiliki dasar atau hujjahnya. Tidak ada yang salah dari keduanya, karena keragaman cara itu bersumber dari kebiasaan yang dicontohkan oleh Rosulullah SAW sendiri, oleh para sahabat, para thabiin, dan atas ijtihad para ulama. Inilah salah satu bentuk keragaman –bahkan perbedaan- yang membawa rahmat bagi umat Islam. Yang salah bukan yang mengerjakan salat tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat. Yang salah adalah yang tidak melaksanakan shalat tharawih.
Pada hari ke-15, tidak saja terdapat perubahan tata-cara shalat tharawih. Pada periode ini biasanya disertai dengan tradisi sebagian umat Islam dengan membuat sejenis makanan khas, yaitu ketupat. Masyarakat Sunda menyebutnya dengan istilah “ngaleupeut”. Istilah ini berasal dari kata “leupeut” atau ketupat. Sejenis makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa dan direbus dalam waktu yang cukup lama. Penganan ini sangat lekat dengan umat Islam, terutama pada saat hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Bahkan di Indonesia ditabalkan sebagai ikon atau simbol hari raya. Ada anggapan, lebaran tak sempurna bila tanpa kehadiran ketupat atau leupeut ini. Ketupat muncul di bulan Ramadhan pada hari ke-15 atau menjelang malam ke-16. Kehadirannya menjadi penanda bahwa Ramadhan sudah separuhnya dilalui. Makanan ini biasanya disuguhkan pada saat usai pelaksanaan shalat tharawih. Hampir setiap jamaah membawa ketupat ke tempat salat tarawih –mesjid dan musholla- dan kemudian dibagikan kepada seluruh jamaah.
Tradisi ini selain penanda bahwa separuh Ramadhan sudah lewat, juga sebagai cara untuk membangkitkan kembali semangat jamaah dalam melaksanakan ibadah –khususnya shalat tharawih- pada separuh Ramadan kedua. Mengapa semangat itu harus kembali dibangkitkan? Sudah lazim terjadi, biasanya pada saat awal Ramadan, umat Islam antusias dan memiliki semangat yang sangat tinggi untuk menyambutnya. Maka tidak aneh bila pada tahap ini, masjid dan musola terlihat penuh oleh jamaah yang sedang melaksanakan ibadah shalat tharawih. Masjid dan mushola seolah terasa sempit. Dalam satu pekan biasanya kondisi ini masih bertahan. Namun ketika memasuki pekan kedua, jamaah mulai menyusut. Masjid dan mushola seolah berubah ukuran menjadi lebih besar. Padahal tidak demikian. Yang terjadi justru karena jamaah semakin sedikit. Sehingga masjid dan mushola terasa semakin luas.
Nah dalam situasi seperti itu, perlu ada daya tarik untuk mengajak jamaah kembali semangat melaksanakan ibadah shalat tharawih. Momentum hari ke-15 atau setengah perjalanan Ramadhan adalah waktu yang pas untuk melakukannya. Satu diantaranya adalah dengan adanya penganan ketupat tersebut. Daya-tarik yang paling mendasar tentu saja adanya malam lailatur qodar. Uniknya, penganan ketupat hanya ada pada hari ke-15. Karena hingga hari ke-19, kita tidak menemukannya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ketupat pada hari ke-15 sebagai “test-case” atau uji-coba bagi jamaah; Apakah mereka kembali semangat dan hadir di tempat shalat tharawih, adalah semata karena adanya makanan, ataukah atas kesadaran sendiri. Makanan ini akan muncul lagi mulai tanggal 20 Ramadhan dan malam-malam ganjil setelahnya hingga malam hari raya Idul Fitri. Kita mengenalnya dengan istilah “likuran”. Hal ini bermakna bahwa pada malam-malam ganjil itu dipercayai sebagai malam turunnya Lailatul Qodar. Malam yang diyakini sebagai malam yang kualitasnya lebih baik dibanding amal-ibadah yang dilakukan selama seribu bulan. Maka, sayang bila malam-malam itu berlalu begitu saja. Sebagai daya tarik bagi jamaah, dalam rangka menjaring turunnya malam lailatul qodar, pada saat yang bersamaan juga disuguhkan beragam makanan, khususnya ketupat ini.
Tradisi membuat ketupat di separuh Ramadhan penting untuk kita lestarikan. Sebagai salah satu cara menjaga ghirah dan semangat umat dalam menjalankan ibadah selama sebulan penuh di bulan Ramadhan yang sarat berkah ini. Tetap semangat, kita isi Ramadhan ini dengan sungguh-sungguh dan mengisinya dengan berbagai aktivitas ibadah, jangan sampai menyesal ketika Ramadhan telah berlalu dari hadapan kita karena kita tidak tahu mungkin ini Ramadhan terakhir kita.