Adapun syarat maslahah mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam sangat banyak pandangan ulama, diantaranya adalah :

  1. Menurut Al-Syatibi

Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila :

  1. Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari’ yang secara ushul dan furu’nya tidak bertentangan dengan nash.
  2. Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial (mu’amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah. Karena dalam mu’amalah tidak diatur secara rinci dalam nash.
  3. Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Daruriyyah, Hajjiyah, dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.[14] sesuai firman Allah:

وَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَىٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ ٧٨

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (Q.S. Al-Hajj : 78).

 

  1. Menurut Abdul Wahab Khallaf

Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat yang diantaranya adalah:

  1. Berupa maslahah yang sebenarnya (secara haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan pembahasan mendalam serta benar-benar menarik manfa’at dan menolak kerusakan.
  2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan perorangan, tetapi untuk orang banyak.
  3. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh nash (alQur’an dan al-Hadits) serta ijma’ ulama.[15]
  1. Menurut Al-Ghozali

Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:

  1. Maslahah mursalah aplikasinya sesuai dengan ketentuan syara’
  2. Maslahah mursalah tidak bertentangan dengan ketentuann nash syara’ (al-Qur’an dan al-Hadits). c. Maslahah mursalah adalah sebagai tindakan yang dzaruri atau suatu kebutuhan yang mendesak sebagai kepentingan umum masyarakat.[16]
  1. Menurut Jumhurul Ulama

Menurut Jumhurul Ulama bahwa maslahah mursalah dapat sebagai sumber legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan hanya yang berdasarkan prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemazdaratan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya kemanfaatan atau prasangka adanya penolakan terhadap kemazdaratan, maka pembinaan hukum semacam itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tidak berdasarkan syari’at yang benar.
  2. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan kemaslahatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak kemudaratan terhadap orang banyak pula.
  3. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits baik secara zdahir atau batin. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak laki-laki dengan perempuan dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian tersebut berdalil kesamaan dalam pembagian.[17]

Berdasarkan ketentuan di atas dapat dirumuskan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari bila telah memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan maslahah tersebut merupakan kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka, yang sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Dan maslahah tersebut mengandung kemanfa’atan secara umum dengan mempunyai akses secara menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Hukum yang menyangkut ibadah diatur dengan nas-nas yang qat’i karena tidak menyentuh kepentingan lahiriyah manusia dan bersifat gair ma’qul ma’na (tidak dapat dijangkau oleh pikiran maknanya). Oleh karena itu, harus diterima apa adanya sebagaimana telah ditentukan oleh nas. Dengan demikian, manusia tidak dapat menentukan bentuk ibadah lain selain yang telah ditentukan oleh nas. Berlainan dengan nas-nas dalam masalah ibadah, nas-nas dalam bidang muamalah sebagian besar adalah nas-nas yang zanni, yang mengandung prinsip-prinsip umum tentang hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungannya dengan alam sekitarnya.

Syatibi memberikan pendapat bahwa jarang sekali dalil-dalil syara’ bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad) yang qat’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu ahad tentu tidak qat’i, melainkan bersifat zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql al-luqah dan pendapat-pendapat ahli nahwu. [18]

Syatibi bukan berarti menolak adanya ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an, tetapi Syatibi sesungguhnya ingin menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qat’i al-dalalah sebagai istilah yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang diangkat dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut qat’i al-dalalah. Menurutnya, kepastian makna (qat’i al-dalalah) suatu nas berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad) yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain saling mendukung dan memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan dari himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat zanni lagi yang menjadi semacam mutawatir ma’nawi. Inilah yang kemudian dinamakan qat’i al-dalalah.

Syatibi mengemukakan contoh mengenai perintah shalat. Apabila perintah shalat dipahami hanya dari firman Allah swt. yang potongannya berbunyi “aqimu al-salah”, maka akan bersifat zanni. [19] Namun, karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian dari Allah bagi orang yang melakukan shalat, celaan dan ancaman bagi yang meninggalkannya dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika sehat atau sakit, damai atau perang serta dalil-dalil lain tentang shalat. Kumpulan nas yang semakna dengan ini secara keseluruhan kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qat’i) tentang wajib shalat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *