Perlukah “Berburu” Lailatul Qodar ?

Perlukah “Berburu” Lailatul Qodar ?

H. Deni Firman Nurhakim

(Penghulu Ahli Madya / Kepala KUA Karawang Timur

Kantor Kemenag Kab. Karawang, Prop. Jawa Barat).

 

Tidak terasa, kita sudah berada di sepuluh hari kedua di bulan suci Ramadan 1446 H. Dan nanti,  di sepuluh hari terakhir Ramadan, -mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW- kita diajarkan untuk semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita. Siti Aisyah r.a, Isteri Nabi Muhammad SAW menuturkan:

“Apabila sudah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah SAW membangunkan keluarganya, ‘mengencangkan sarungnya’, dan menghidupkan malamnya” (H.R. Bukhori).

Itulah mengapa, di penghujung Ramadan, ada banyak masjid yang buka 24 jam untuk memberi kesempatan kepada jemaah beritikaf, bertadarus Al-Quran, dan beribadah lainnya di sepanjang malam 10 hari terakhir Ramadan.

Namun sangat disayangkan, bila sunnah Nabi SAW tersebut kemudian dipersempit sebatas menunggu dan “berburu” Lailatul Qodar. Meski tidak salah bila kita mengharapkan bertemu dengan malam mulia yang lebih baik dari seribu bulan tersebut. Namun, akan menjadi keliru bila ibadah-ibadah yang dilakukan itu sepenuhnya diorientasikan hanya untuk memperoleh Lailatul Qodar, BUKAN karena iman (iimaanan) dan mengharapkan keridhaan Allah SWT (wahtisaaban).

***

Makna Lailatul Qodar

Kalau kita sepakat dengan tafsir kata “Lailatul Qodar” yang menunjukkan arti malam kemuliaan/malam penentuan, itu artinya Lailatul Qodar terjadi pada waktu malam hari. Dan pengertian “malam” itu mulai terbenam matahari hingga terbit fajar. Dengan demikian, tanpa ditunggu dan diburu pun malam qodar –sama seperti malam-malam lainnya– akan datang dan menyapa seluruh manusia, tanpa terkecuali.

Bedanya, ada yang merasakan sapaan Lailatul Qodar tersebut dengan jelas, ada juga yang kurang jelas. Bahkan, ada yang sama sekali tidak jelas. Yang membedakan penerimaan mereka adalah kadar kejernihan hati masing-masing.

Bila diibaratkan, hati itu bagaikan antena TV. Semakin baik hati kita, maka semakin bagus daya tangkapnya terhadap energi positif Lailatul Qodar. Namun sebaliknya, semakin kusam hati kita, maka semakin buruk daya tangkapnya terhadap energi positif yang dipancarkan Lailatul Qodar.

 

Kebeningan Hati

Dengan demikian, agar bisa meraih kemuliaan malam qodar, modal terpentingnya adalah hati yang bening. Untuk mengukur kebeningan hati, Ibnu Qoyyim dalam kitabnya “Ar-Ruh” menguraikan:

“Hati yang telah mencapai kedamaian dan ketentraman bisa mengantarkan pemiliknya dari ragu kepada yakin; dari kebodohan kepada ilmu; dari lalai kepada ingat; dari khianat kepada amanat; dari riya kepada ikhlas; dari lemah kepada teguh, dan dari sombong kepada tahu diri”.

‘Alaa kulli haal, hemat penulis, daripada sibuk menerka-nerka kapan persisnya datang Lailatul Qodar, lebih baik kita terus menata hati kita agar bersih dari sifat-sifat tercela, juga meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita ikhlas semata karena Allah SWT. Sehingga saat Lailatul Qodar datang menyapa, kita merasakan sapaan tersebut dengan jelas, sejelas-jelasnya. Pada akhirnya, Lailatul Qodar pun menjadi titik balik terbentuknya pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Semoga.

Wallaahu a’lamu bis showaab.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *