NIKAH BERSYARAT
MENURUT IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNIY
Oleh : HERIZAL, S. Ag, M.A
(Kepala KUA Depati Tujuh Kerinci Jambi)
- PENDAHULUAN
Dalam kehidupan di dunia, semua makhluk hidup tidak bisa terlepas dari pernikahan, demi kelestarian dan kelangsungan lingkungan alam semesta. Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mulia. Maka Islam memerintahkan kepada orang; yang telah memiliki kemampuan (al-ba’ah) untuk menjalankan syari’at ini, karena didalamnya terkandung tujuan yang sangat agung dan suci, serta mempunyai hikmah yang begitu besar bagi kehidupan manusia. Tujuan dari pernikahan adalah untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang tenang, tentram, damai dan bahagia dalam bingkai mawaddah warahmah. Karena itu, pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi.[1] Hal ini merupakan prinsip dasar teori keluarga sakinah, sebagaimana termaktub secara jelas dalam firman Allah SWT.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Qs. Ar Ruum:21).
Menikah menurut Islam adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, lengkap dengan syarat dan rukunnya, tidak ada satu hal yang menghalangi keabsahannya, tidak ada unsur penipuan dan kecurangan dari kedua belah pihak, serta niat dan maksud dari kedua mempelai sejalan dengan tuntunan syari’at Islam.[2] Oleh karena itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling rela, demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia.[3]
Prinsip dasar akad nikah diadakan adalah untuk langgengnya kehormatan perkawinan, suatu “perjanjian atau ikatan yang kokoh”, maka tidak sepatutnya di rusak dan disepelekan, apalagi akad nikah yang dilaksanakan dengan tujuan akhir perceraian. Bahkan mayoritas ahli fiqh mengatakan bahwa talak adalah suatu hal yang terlarang”, kecuali karena ada alasan yang benar atau darurat.[4] Walaupun dalam Islam persyaratan perceraian (talak) dan bahkan menghalalkannya, akan tetapi hal ini bukan berarti Islam mencetuskan ide perceraian yang memang sudah ada di segala kebudayaan pada tahap perkembangannya Islam mengalaminya akan tetapi membatasi legitmasinya.[5]
Keutuhan dan kelanggengan kehidupan merupakan suatu tujuan yang digariskan Islam. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara suami istri dengan ikatan yang paling suci dan paling kokoh.[6] Istilah ikatan suci dan kokoh antara suami istri oleh Al-Qur’an disebut mitsa qun ghalizah.[7] Jika ikatan suami istri dinyatakan sebagai ikatan yang kokoh dan kuat, maka tidak sepatutnya apabila ada pihak-pihak yang merusak ataupun menhancurkannya. Karenanya, setiap usaha dengan sengaja untuk merusak hubungan antara suami istri adalah dibenci oleh Islam, bahkan dipandang telah keluar dari Islam dan tidak pula mempunyai tempat kehormatan di dalam Islam.[8]
- Nikah Bersyarat Menurut Ibnu Qudamah
Ibnu Qudamah adalah seorang ulama yang menganut madzhab hambali, dia adalah tokoh yang memperbaharui, membela, mengembangkan, dan memperhatikan ajaran-ajaran madzhab hambali terutama dalam bidang muamalah[9]29. Menurut Tahido, Ibnu Qudamah dalam menetapkan hukum lebih menitikberatkan pada hadis, yaitu apabila ditemukan hadis shoheh, maka sama sekali tidak diperhatikan faktor pendukung lainnya.
Apabila didapati hadis mursal atau dhoif, maka hadis tersebut justru lebih dikuatkan dari pada qiyas kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Dengan kata lain, Ibnu Qudamah dalam pengendalian sebuah hukum, ketika tidak ditemukan dalam nash sebuah pengharaman terhadap sesuatu maka hal itu boleh dan sah-sah saja. Begitu halnya dengan hukum nikah bersyarat.
Para ulama dan fuqaha telah menetapkan persyaratan bila seorang ingin menikahi lebih dari seorang isteri :
- Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi
- Dia harus memperlakukan semua isterinya itu dengan adil. Setiap isteri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.[10] Sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3 :
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terahdap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” ( Q. S. an-Nisa ayat 3).
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri dapat dipenuhi dengan baik.[11]
Dalam kitab Abu Daud dari harits bin Qais, berkata :
أسلمت و عندي ثمان نسوة، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلّم فقال: أختر منهنّ أربعا [12]
Artinya : “saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isetri saya, lalu saya menceritakan kepada Nabi Saw”. maka sabda beliau “ maka pilihlah empat orang di antara mereka”.
Sebelum perkawinan dilangsungkan terkadang ada syarat-syarat yang disepakati oleh kedua mempelai atau dari pihak orang tua mempelai yang tujuannya demi kebaikan calon mempelai, karena untuk membina rumah tangga selanjutnya. Di dalam kitab-kitab fiqh telah membahas mengenai syarat-syarat tersebut. Adapun pengertian syarat dalam perkawinan ialah :
الشروط في الزواج هي ما يشترطه احد الزوجين على الأخر مما فيه غرض [13]
Artinya : “Sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu mempelai atas suatu yang lain, yang mana sesuatu itu memang dikehendaki adanya tujuan “.
Ada akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, dan ada pula yang dilarang oleh syara’ masing-masing syarat itu mempunyai hukum tersendiri.[14] Ulama fiqh sepakat bahwa syarat yang sesuai dengan tujuan akad harus dipenuhi oleh kedua mempelai. Misalnya syarat akan mempergauli isteri dengan baik, pakaian, tempat tinggal dan akan minta izin pada suami apabila isteri bepergian dan syarat lain yang sifatnya tidak menyeleweng dari hukum Allah. Mereka juga sepakat tentang melarang syarat yang tidak sesuai dengan tujuan akad, misalnya syarat bahwa suami tidak akan memberikan nafkah kepada isteri, tidak akan memberi maskawin atau isteri harus memberi nafkah kepada suami atau isteri hanya akan dipergauli pada siang hari, tidak malam hari atau syarat lain yang bertentangan dengan tujuan akad. Akan tetapi, ulama fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat yang tidak sejalan tetapi tidak berlawanan dengan tujuan akad. Artinya syarat tersebut memang bermanfaat bagi salah satu calon mempelai, misalnya syarat bahwa isteri tidak akan diusir dari rumah atau kampungnya, tidak berpergian bersama (isteri), tidak akan kawin lagi dan sebagainya.[15] Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa perkawinannya sah tetapi syarat itu sia-sia, tidak mengikat, suami tidak wajib memenuhi janjinya,18 mereka beralasan dengan hadits :