NIKAH BERSYARAT MENURUT IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNIY

NIKAH BERSYARAT MENURUT IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNIY

Berdasarkan beberapa argumen yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik sebuah pengertian bahwa nikah dengan niat cerai menurut pandangan Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja, itu bertentangan dengan beberapa hal, diantaranya keadilan bagi seorang perempuan dalam hal ini yang menjadi objek. Karena dengan konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Qudamah jelas sangat merugikan pihak perempuan, bahkan dapatlah dipertegas nikah dengan niat cerai merupakan kebohongan terselubung yang direncanakan pihak laki-laki terhadap istrinya meskipun sang istri tidak mengetahui.

Nikah dengan niat cerai juga bertentangan dengan tujuan nikah itu sendiri yakni salah satunya membina rumah tangga yang sakinah wamaddah wa rahmah. Bagaimana mungkin sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah akan terbentuk jika dalam hatinya ada niat untuk cerai dikemudian hari. Karena perceraian yang terjadi tidak ada alasan sama sekali. Perceraian terjadi sekonyong-konyong karena keinginan sang suami karena memang sudah direncanakan dan hal itu bertentangan dengan azas-azas perceraian.

 

 

 

 

 

 

  1. KESIMPULAN
  • Asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi dengan baik. Di dalam kitab al-Mughniy karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya, tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka isteri dapat minta fasakh terhadap suaminya.
  • Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni berpendapat bahwa menikah dengan niat cerai adalah boleh dan sah-sah saja dilakukan. Karena menurutnya pernikahan model ini bukanlah nikah mut’ah atau nikah tahlil sebagaimana yang telah jelas dilarang oleh agama Islam. Ibnu Qudamah beranggapan bahwa ketika tidak ada nash yang secara explisit menerangkan keharaman sebuah perkara maka perkara tersebut sah-sah saja dilakukan. Begitu juga dengan pernikahan dengan niat cerai, menurutnya tidak adanya sebuah sumber hukum yang secara tegas melarang hal tersebut. Dengan begitu nikah dengan niat cerai boleh dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman I. Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Al-Bukhari, Al-Imam, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1992.

Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘alaa Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Asmawi, Mohammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Cet. I

Yogyakarta: Das As-Salam, 2004.

 

Al-Mansur, al-Aziz., Saleh Ibn Abd, Al-Azis al-Mansur, Nikah Dengan Niat Talak? Alih bahasa Al Pran MA jabbar, Cet.I, Surabaya: Pustaka Progresif, 2004.

Al-Maraghi, Abdullah Mustafa, Faham-faham Fiqh Sepanjang Sejarah, Alih Bahasa, Tusain Muhammad, Cet.I, Yogyakarta: LKPSM, 2001.

Asy-Syafi’i, Al-Umm, Cet.1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.

Ata, Mahmud Abd. Al-Qadr dan Mustafa Abd. Al-Qadr Ata, Al Fatamen Al-Kubra, li Al-Imam al-Alamah Taqi’y Abd. ibn Taimiyah, Edisi Ke. 1, Beirut: Dari al-Kutub al-Ilmiyah, 1987.

Borsard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, Alih Bahasa Oleh HM Rasjid, Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Penafsir Al-Qur’an, 1967.

Dahlan, Abdul Aziz, dkk., (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.V, Jakarta: Velution Baru Islam Houve, 2001.

Dirjen BIMAS, Islam dan Penyelenggara Haji, Pegangan Calon Pengantin, (ttp:Program Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2001.

Djaelani, Abdul Qodr, Keluarga Sakinah, cet. ke I, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum VII, Jakarta; Yayasan Tengku Muhammad ash-Shiddieqy, 2001.

Ibrahim, Abu Ishaq Ibn Ali Ibn Yusuf asy Syirazi al Muhazzab, fi Fiqh Mazhab al-Imam asy Syafi’i, Beirut: Dar al Fikr, 1994.

[1] Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1

(Yogyakarta: Das As-Salam, 2004), hlm. 18

[2] Saleh Ibn Abd, Al-Azis al-Mansur, Nikah Dengan Niat Talah? Alih bahasa Al Pran MA jabbar, cet ke-1 (Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 7

[3] Marcel A. Borsard, op. cit., hlm. 120

[4] As-Sayyed Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. ke-4 (Beirut: Dar Fiqkrm, 1983,), him. 206

[5] Ibid., hlm 121

[6] Abdul Qadir Al-Jaelani, Keluarga Sakinah, cet ke-3 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995),

hlm 316

[7] Baca QS. An-Nisaa’ , ayat 21.

[8] Abdul Qadir Jailani, op cit., hlm 316

[9] Huzaimah Tahido Yanggo, op.cit, hlm. 146.

[10] Abdurrahman I. Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.

[11] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.

[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (tarj.), Muh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1997, hlm. 150.

[13] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam, juz, VII, Beirut : Dar al-Fikr, 1997, hlm. 53

[14] H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 59

[15] Wahbah al-Zuhaily, op. cit., hlm. 34

[16] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1992, hlm. 251.

[17] H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 34.

[18] Ismail al-Kahlani, Subu al-Salam, juz III, Semarang: Toha Putra, hlm. 59.

[19] Sayid Sabiq, op, cit, hlm. 72

[20] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz. VII, Dar al-Kutb al-Alamiyah, hlm. 448.

[21] Imam Muslim, op. cit., hlm. 1036.

[22] Ibnu Qudamah, loc, cit.

[23] Ibid.

[24] Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 169

[25] Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995, hlm. 183.

[26] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum VII, Jakarta; Yayasan Tengku Muhammad ash-Shiddieqy, 2001, hlm. 92

[27] Ibid.,hlm. 93

[28] Mahmud Abd. Al-Qadr Ata dan Mustafa Abd. Al-Qadr Ata, Al Fatamen Al Kubra, li Al-Imam al-Alamah Taqi’y Abd. ibn Taimiyah, Edisi Ke. 1, (Beirut: Dari al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100

[29] Ibnu Qudamah, op.cit, hlm.645

[30] Ibid.

[31] Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdisi, op. cit., hlm. 647

[32] Mansur Faqih, op. cit., hlm. 130

[33] Mohammad Abd. Al-Qadir Ata dan Musthafa Abd. Al-Qadir Ata, Al Fatamen Al-Kubra Li Al Iman Al-Alamah Taqiy Abd. Ibn Taimiyah, Edisi Ke. I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100

[34] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Cet. Ke. 2, (Ttp: Tnp, 19973), hlm. 17

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *