NIKAH BERSYARAT MENURUT IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNIY

NIKAH BERSYARAT MENURUT IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNIY

عن ابن عمر رضي الله عنهما : كل شرط خلف كتاب الله فهو باطل و ان اشترط مائة شرط ( رواه البخاري)[16]

Artinya : “Dari Umar r.a : Semua syarat yang tidak sesuai dengan kitabulllah maka syarat itu batal meskipun seratus syarat”.

Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat di atas bukan dari kitab Allah, karena syari’at tidak menghendakinya dan syarat tersebut tidak akan menambahkan kebaikan akad dan tujuan akad.[17]

عن عمر وابن عوف المزني رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : المسلمون على شروطهم الا شرطا احل حراما أو حرم حلالا (رواه الترمذي وصحح) [18]

Artinya : Dari Umar bin Auf al-Mazani r.a bahwa Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda : “Orang Islam itu terikat dengan syarat yang mereka buat, kecuali syarat menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Turmudzi dan hadits ini Shahih)

 

Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat di atas dianggap mengharamkan yang halal, seperti kawin lagi (poligami) dan bepergian kedua hal itu adalah halal.[19] Sebagian ulama lainnya. Hambaliyah mewajibkan dipenuhinya syara-syarat terhadap wanita. Apabila tidak dipenuhi maka perkawinanya dapat difasakhkan.[20]

Mereka beralasan dengan hadits Nabi :

عن عقبة بن عامر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن أحق الشرط أن يوفي به ما استحللتم به الفروج (رواه الجماعة) [21]

Artinya : Dari Uqbah bin Amir telah berkata : telah berabda Rasulullah Saw : Syarat yang lebih patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata perempuan. (HR Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir).

 

Pendapat yang mangatakan kalau syarat tidak berpoligami dalam akad nikah dianggap mengharamkan yang halal terbantah, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang halal tetapi memberikan pilihan bagi si perempuan untuk minta fasakh apabila syarat itu tidak dipenuhi.[22]

Di dalam kitab al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya, tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka perempuan (isteri) dapat minta fasakh terhadap suaminya.[23]

Sayyid Sabiq berpendapat : “membolehkan si isteri menuntut pasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut”

فلو شرطت الزوجة في عقد الزواج على زوجها الا يتزوجا عليه صح الشرط ولزم وكان لها حق فسخ الزواج اذا لم يف لها الشرط

Artinya : Apabila seorang isteri mensyaratkan pada waktu akad nikah agar suaminya tidak kawin lagi (memadunya), maka syarat itu sah dan mengikat, dan berhak menuntut fasakh nikah apabila suami melanggar perjanjian itu.[24]

 

Menurut Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Ikhtiyat al-Fiqhiyah berpendapat bahwa sebagai berikut : Apabila pihak suami memberikan syarat kepada pihak isteri dalam akad nikah atau mereka sepakat sebelum akad, agar isteri tidak pindah dari rumahnya atau negaranya atau suami tidak akan kawin lagi, maka isteri berhak meminta talaknya, maka syarat seperti itu sah.[25]

Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy bependapat kepada keharusan memenuhi segala syarat yang manfaatnya kepada si wanita sehingga dia mau dinikahi dan jika tidak dipenuhi, maka si wanita boleh menfasahkan penikahan itu.[26] Ibnu Rusyd berkata sebabnya terjadi perselisihan, ialah berlawanan nash yang umum dengan nash yang khusus, nash yang umum ialah nash yang mengatakan bahwa segala syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, batal. Sedangkan nash yang khusus ialah nash yang menandaskan, bahwa syarat yang paling berhak dipenuhi ialah syarat yang dilakukan untuk memperoleh keridhaan wanita yang dinikahi. Kedua hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Namun demikian menurut paham yang mashur dalam kalangan ulama ushul fiqh, ialah mempergunakan khusus dan mengalahkan yang umum, yaitu memenuhi syarat-syarat yang disyaratkan itu.[27]

 

  1. Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qadamah Tentang Hukum Menikah dengan Niat Cerai

 

Menikah dengan niat cerai sama sekali tidak ditemukan atsar maupun khabar yang menyebutkan tentang larangannya. Hal ini dijelaskan lebih mendetail oleh Ibnu Thaimiyah. Dalam al Fatawa al Kubra, ia mengungkapkan bahwa seseorang boleh menikah dengan niat cerai, tetapi menikah secara mutlak dan tidak disyaratkan penentuan waktu dimana jika ia suka ia akan tetap mempertahankannya, dan jika ia mau ia boleh saja menceraikannya.[28]

Pernikahan dengan niat cerai terjadi ketika seorang laki-laki melaksanakan akad nikah bersama calon istri dan sejak awal akad nikahnya diiringi dengan niat untuk tidak bersama istri selamanya. Contohnya, adalah seseorang pergi ke luar kota atau luar negeri karena melaksanakan studi atau ada kepentingan dan urusan yang lain, kemudian (dengan alasan terjerumus ke lembah zina) melaksanakan pernikahan hanya untuk sementara waktu, yaitu sampai studi atau urusannya selesai.[29] Hal yang demikian ini oleh Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja dilakukan asal tidak adanya suatu perjanjian yang mengikat, khususnya perjanjian tenggat waktu yang disepakati oleh suami istri. Karenpa bila didapati adanya sebuah perjanjian yang disepakati bersama maka hal tersebut tidak boleh, sebab itu termasuk nikah mut’ah.[30]

Selanjutnya Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seorang suami tidak hanya berniat (pada saat akad) untuk mempertahankan istrinya, boleh jadi jika ia serasi dengannya, maka ia akan mempertahankannya dan jika tidak (serasi) maka ia boleh saja menceraikannya[31] Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal pengambilan keputusan juga dalam hak ekonomi yakni untuk memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami ataupun bapaknya boleh mencampuri hartanya kekayaan itu termasuk yang didapat melalui pewarisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu maha atau mas kawin dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya.[32] Hukum Islam dituntut untuk mengerti seluruh umat Islam yang berasal tidak hanya dari kalangan Arab belaka. Namun juga berasal dari seantero dunia yang tentunya sangat bervariatif kondisi dan kebudayaannya. Maka Islam harus fleksibel dan bisa diterima kapan pun dan dimana pun hukum Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat yang menganutnya.

Hukum Islam yang merupakan syari’ah berasal dari al-Qur’an pada dasarnya ada tiga pokok ajaran, yakni percaya pada keesaan Tuhan, pembentukan masyarakat adil, dan percaya hidup sesudah mati. Al-Qur’an merupakan sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bahkan sebagai dokumen hukum. Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan hukum yang penting yang dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat di Madinah. Kemudian agar penafsiran al-Qur’an dapat diterima dan dapat berlaku adil terhadap tuntutan keilmuwan dan integritas moral, maka salah satunya pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan sejarah atau historis sosiologis.[33]

Sedangkan diantara ulama kontemporer yang melarang nikah dengan niat talak dan menganggapnya serupa dengan nikah mut’ah adalah Muhammad Rosyid Ridha. Dalam tafsir Al-Manar dijelaskan bahwa ulama terdahulu (salaf) dan ulama sekarang (khalaf) sangat keras dalam melarang nikah mut’ah, pendapat ini juga melarang pendapat tentang nikah dengan niat talak. Sekalipun ulama menganggap sah nikah ini karena tidak dinyatakan ketika pelaksanaan sighat akad. Namun demikian sikap menyembunyikan niat itu yang dianggap sebagai perbuatan penipuan mengelabuhi pihak perempuan yang lebih pantas untuk dibatalkan dari pada akad yang bersyarat dengan jelas disebutkan batas waktunya dan disetujui oleh pihak suami istri dan wali.[34]

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *