Dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Indonesia, hukum Islam meempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Dikatakan demikian karena hukum keluarga Islam, di samping diakui sebagai sumber hukum secara yuridis, juga mempunyai prinsip-prinsip yang universal serta sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bahkan, secara sosiologis hukum keluarga Islam telah mengakar dan menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah mayoritas masyarakat Indonesia.
- Aspek Metodologis
Pembaruan hukum Islam dalam konteks hukum keluarga di Indo- nesia, bukan persoalan yang mudah. Paling tidak, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
- Kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang pluralistik harus menjadi salah satu variabel pertimbanga Hal ini penting untuk menghindari pembaruan hukum Islam yang kontra produktif sehingga merugikan umat Islam sendiri.
- Pembaruan hukum yang dilakukan harus memperhatikan aspek metode perumusan hukum Islam dalam kontek pembaruan hukum keluarga Indonesi Hal ini dimaksudkan agar formulasi hukum Islam yang dirumuskan tidak bertentangan dengan kesa- daran dan karakteristik hukum nasional.
Dalam konteks pembaruan hukum Islam, aspek metodologi dipan- dang sebagai faktor yang menentukan wujud hukum (hasil ijtihad) yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dan sesuai dengan karakteristik hukum nasional, dapat digunakan beberapa pendekatan, yaitu :
- Pendekatan historis, dimaksudkan untuk mengetahui latarbelakang sejarah suatu produk hukum. Penerapan pendekatan historis dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada ketentuan pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 6 ayat 1 dan 2 KHI yang mengatur tentang ketentuan pencatatan per- kawinan. Dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan ketentuan tentang pencatatan perkawinan. Menurut Ahmad Rofiq bahwa tidak ditemukannya ketentuan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik karena pada waktu itu tingkat amanah kaum muslimin masih tinggi, sehingga kemungkinan penyelewengan perkawinan relatif kecil.[8] Dengan demikian, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern dan semakin kompleksnya problema masyara- kat, maka ketentuan pencatatan perkawinan menemukan vitalitasn
- Pendekatan Maslahah, Tingkat kemaslahatan suatu rumusan pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, idealnya dijadikan sebagai ruh dari setiap ketentuan hukum. Oleh karena itu, ketentuan pencatatan perkawinan dipandang sebagai prestasi brilian para pakar hukum Islam di Indonesia. Dikata- kan demikian karena pencatatan perkawinan mengandung nilai kema- slahatan yang tinggi dan merupakan solusi hukum atas merebaknya perkawinan di bawah tangan (baca; nikah sirri).28 Dengan demikian, ber- dasarkan pertimbangan maslahat dapat dikatakan bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah karena di samping bertentangan dengan ketentuan hukum positif Indonesia juga bertentangan ruh syari’a
- Pendekatan Realitas Sosial, Pendekatan realitas sosial secara konseptual dimaknai sebagai upaya melakukan pembaruan hukum dengan menghadirkan pen- dekatan realitas sosial dan pendekatan lainnya secara simultan dalam merumuskan (istinbath) hukum. Artinya bahwa dalam kerangka pem- baruan hukum keluarga Islam, realitas sosial menjadi salah satu varia- bel dalam proses analisis atau penemuan hukum sehingga suatu hukum tidak hanya diderivikasi dari teks. Penerapan pendekatan realitas empiris dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada beberapa ketentuan hukum dalam KHI, seperti ketentuan harta orang tua yang dihibahkan kepada anaknya dan setelah orang tua meninggal harta hibah tersebut diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkuta Ketentuan yang demikian tidak ditemukan dalam litera- tur fikih klasik dan hanya ditemukan dalam hukum adat sebagai realitas sosial.
- Aspek Sosiologis
Dalam konteks pembaruan hukum, aspek sosiologis yang senan- tiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dipandang sebagai salah aspek yang mengiringi proses pembaruan hukum. Aspek-aspek sosiologis yang mengiringi pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia, antara lain:
- Pranata kekerabatan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi). Juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara kolektif. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan pena- taan hubungan antar individu di dalam lingkungan keluarga, seba- gai organisasi sosial terkecil. Pranata itu mengalokasikan nilai dan kaidah al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan dengan penerimaan anggota keluarga baru melalui tahapan pelamaran dan per- kawinan; hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan keluarga; pengaturan kelahiran; pengasuhan dan pendidikan anak; penga- turan harta kekayaan perkawinan; perceraian; dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila anggota keluarga meninggal dunia (perihal kewarisan).[9]
- Pranata pendidikan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mensosialisasikan keyakinan, nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang di- anut oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Selanjutnya, sosialisasi itu meliputi informasi-informasi baru dan berbagai aspek yang dibutuhkan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk meme- nuhi kebutuhan tersebut, dilakukan pengaturan yang berkenaan dengan jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian, tingkat pendidikan menjadi faktor yang menentukan dalam proses pembaruan hukum di Indonesi
- Pranata keilmuan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, yaitu ayat- ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali diterima Rasulullah Saw. (S. al-Alaq: 1-5) memberikan petunjuk tentang keharusan “membaca” ciptaan Allah Swt. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan tentang sumber, substansi, metode, dan kegunaan hasil pemahaman tersebut. Hasil pemahaman itu disebarluaskan dalam berbagai karya ilmiah di antaranya dalam kitab-kitab fikih dalam berbagai aliran pemikiran (mazhab).[10]
- Pranata politik, berfungsi sebagai pemenuhan medium dalam mela- kukan pembaruan hukum keluarga di Indonesia melalui artikulasi politik di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernega
D. Contoh Kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama
Pembaruan atas Pengaturan Itsbat Nikah Melalui Judicial Review
Pembaruan atas pengaturan itsbat nikah dilaksanakan melalui judicial review. Judicial review dilaksanakan terhadap huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Peradilan Agama 2006 yang hanya memberi kewenangan untuk menyatakan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Perkawinan 1974 dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Secara lengkap, dalam penjelasan huruf a Penjelasan Pasal 49 UU Peradilan Agama 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan mengenai perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: 1) Izin beristri lebih dari seorang; 2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3) Dispensasi kawin; 4) Pencegahan perkawinan; 5) Penolakan perkawinan oleh Pe- gawai Pencatat Nikah; 6) Pembatalan perkawinan; 7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8) Perceraian karena talak; 9) Gugatan perceraian; 10) Penyelesaian harta bersama; 11) Penguasaan anak- anak; 12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16) Pencabutan kekuasaan wali; 17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekua- saan seorang wali dicabut; 18) Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19) Pembebanan kewajiban ganti keru- gian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20) Penetapan asal- usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan 22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.