[3] Cik Jasan Bisri, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Cet. I; Jakarta: Logos, 1998), h. 115.
[4] Ibid., h. 116.
[5] Ibid., h. 117-118
[6] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007, hlm 47.
[7] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pembangunan Hukum Nasional, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 88.
[8] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 106-107
[9] Di dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini fungsi-fungsi keluarga sema- kin berkembang, diantaranya fungsi keagamaan, yang mendorong dikembangkannya keluarga dan seluruh anggota nya menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengaturan kehidupan keluarga dalam hal ini perkawinan, diatur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan berbagai peraturan pelaksa- naannya. Alokasi hukum Islam di dalam peraturan itu sangat besar, bahkan dominan.
[10] Adanya berbagai mazhab fikih, umpamanya menunjukkan bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia dikenal pranata keilmuan, dengan ulama sebagai sentral- nya. Ia merupakan pengembangan suatu kegiatan intelektual yang dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu secara konsisten. Kegiatan itu ber- langsung secara berkelanjutan, yang kemudian dikalangan antropolog dikenal sebagai tradisi tradisi besar (great tradition). Pusat-pusat pengkajian tumbuh dan berkem- bang terutama dalam lingkungan pesantren, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya msyarakat. Demikian halnya, pengkajian dilakukan dalam lingkungan organisasi kemasyarakatan, misalnya dalam lingkungan MUI dilaksanakan oleh Komisi Peng- kajian Masalah Keagamaan. Oleh karena itu, dikalangan umta Islam Indonesia dikenal pranata keulamaan sebagai simbole pewaris para nabi. Ulama, sebagai kelompok elite dalam komunitas Islam di Indonesia memiliki karakteristik sendiri, serta memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat b
MAKALAH
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Hukum Keluarga yang diampu oleh Prof.Dr.H. Encup Supriatna Drs., M.Si dan Dr.H Ramdani Wahyu Sururie M.Ag., M.Si”
Disusun oleh : Yayan Nuryana
NIM : 2210050058
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S-2 HUKUM KELUARGA ISLAM
KONSENTRASI PROGRAM KERJASAMA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw. Berkat limpahan serta rahmatnya, penulis dapat merampungkan makalah ini. Penulis meminta maaf jika di dalam penyusunan tugas atau materi ini tidak maksimal. Makalah ini disusun agar pembaca bisa memperluas pengetahuan yang saya sajikan dari beragam sumber informasi, referensi, serta berita.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan sesuai dengan jurusan yang dipelajari. Penulis menyadari, makalah yang di tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Purwakarta, 08 Oktober 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
- Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. 3
- Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. 5
- Aspek-aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. 6
- Contoh Kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti syariah. Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.
Secara historis, berbagai regulasi hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara personal oleh para ulama atas dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru mereka. Pada sisi inilah maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan dari para ulama dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi dievaluasi dan direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah terjadi pada masa lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik pribadinya maupun pemikirannya.
Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing- masing penduduk. Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam.
Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan historis, makalah ini akan menggambarkan secara holistik sejarah evolusi hukum keluarga Islam di Indonesia seputar konsep, metode dan model pembaharuannya serta aspek pembaharuan yang dilakukan.
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum di dunia ini banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga. Dewasa ini hukum Islam bidang keluarga di Indonesia yang mempunyai daya tahan dari hempasan arus westernisasi yang dilaksanakan melalui sekularisme di segala bidang kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman, tempat, dan dikodifikasikan, baik secara parsial, maupun total, yang telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX setahap demi setahap.2 Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh Undang- Undang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita, isteri, ibu dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya.
B. Rumusan Masalah
- Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
- Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
- Aspek-Aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
- Contoh kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
Secara garis besarnya, hukum Islam meliputi empat bidang, yaitu: pertama, bidang ibadah, yakni merupakan penataan hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Kedua, bidang munakahah, merupakan penataan hubungan antara manusia dalam lingkungan keluarga. Ketiga, bidang muamalah, merupakan penataan hubungan antar manusia dalam pergaulan hidup masyarakat. Keempat, bidang jinayah, merupakan penataan pengamanan dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin kes- elamatan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.[1] Sedangkan menurut A. Jazuli, hukum Islam meliputi: bidang ibadah, bidang ahwal al-Syakhshiyah (perkawinan, kewarisan, wasiat, dan wakaf ), bidang muamalah (dalam arti sempit), bidang jinayah, bidang aqdhiyah (per- adilan), dan bidang siyasah (dusturiyah, maliyah, dan dauliyah).[2] Pembidangan hukum Islam tersebut, sejalan dengan perkemba- ngan pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu, semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula pemikiran ulama dan pembidangan hukum Islam pun mengalami pengembangan. Hal itu menunjukkan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata sosial dengan pemikiran ulama secara sistematis. Atau sebaliknya, penyebarluasan produk pemikiran ulama yang mengacu kepada firman Allah melahirkan berbagai pranata sosial.[3]