Kalau saja angka 22 pada huruf a tersebut tidak ada, Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Peradilan Agama 2006 justru tidak membatasi masalah waktu pelaksanaan perkawinan siri yang bisa diajukan penge- sahan nikahnya (istbat nikah). Asalkan perkawinannya telah dilaksana- kan secara sah menurut hukum agama, permohonan pihak yang ber- sangkutan atas itsbat nikah siri bisa dikabulkan oleh pengadilan agama.
Putusan Waris Beda Agama di Nias
Hezekieli Marunduri saat itu masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen, Medan. Bersama Asamudin Marunduri, Fangoja Marunduri, dan Sofunaso Marunduri, Hezekieli mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Nias. Tergugatnya adalah Azali Maruhawan (Tergugat-1) dan Zakalia Marunduri (Tergugat-2).
Jika ditelusuri, para penggugat dan tergugat sebenarnya masih punya hubungan kekerabatan. Ayah para penggugat mempunyai saudara kandung bernama Fataya Marinduri dan Satima Marinduri. Meski bersaudara, Fataya dan Satima beragama Islam, sedangkan ayah para penggugat beragama Kristen. Tergugat-1 adalah anak dari Satima Marunduri, sedangkan Zakalia Marunduri masih sepupu dengan Fataya karena nenek mereka bersaudara kandung dan sama-sama menganut agama Islam.
Persoalan muncul ketika Fataya dan isterinya wafat dan meninggalkan harta warisan berupa tanah dan kebun kelapa yang sangat luas. Kebun kelapa itu berasal dari pusaka ayahnya Tetandrosa Marunduni. Para penggugat beralasan merekalah ahli waris yang berhak karena Fataya tak mempunyai keturunan. Itu sesuai dengan hukum adat Nias. Sebaliknya, para tergugat mendalilkan sesuai hukum faraidl, merekalah yang berhak mendapatkan warisan karena sama-sama beragama Islam dengan pewaris.
Upaya perdamaian sudah dilakukan, tetapi menemui jalan buntu. Hingga akhirnya perkara ini masuk ke pengadilan. Di pengadilan, penggugat menghadirkan tujuh orang saksi, empat diantaranya beragama Islam. Para saksi ini pada pokoknya menyatakan bahwa menurut hukum adat Nias yang berlaku, para penggugatlah yang berhak mewarisi. Di daerah Hinako, tempat tinggal pewaris, yang berlaku adalah hukum adat, walaupun dalam satu keluarga itu berlainan agama. Para Tergugat mengajukan enam orang saksi, salah satunya beragama Kristen. Para saksi ini pada intinya menyatakan karena mendiang Fataya Marunduri beragama Islam, maka pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.
Dalam pertimbangannya, hakim TW Siregar melihat bahwa keterangan para saksi penggugatlah yang kuat dasar pengetahuannya, atau dapat memberikan contoh yang konkrit di Hinako. Di daerah ini, dalam pembagian waris, hukum adatlah yang berlaku. Misalnya, bapak tergugat II (beragama Islam) yang wafat tanpa meninggalkan anak laki-laki, hartanya dibagi menurut hukum adat. Tergugat II sebagai anak perempuan hanya mendapatkan peragih (pemberian) saja, bukan sebagai ahli waris.
“Keterangan saksi-saksi penggugat lebih kuat dan dapat dipercaya, oleh karena disertai dengan dasar pengetahuan, atau dengan contoh-contoh,” urai hakim dalam pertimbangan. “Terbuktilah bahwa di kampung Hinako, dalam hal pembagian waris berlakulah hukum adat Nias, tanpa melihat agamanya, dan oleh karena itu dalam perkara ini khususnya, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris dari mendiang Fataya Marunduri, harus dipakai hukum adat Nias,” sambung hakim dalam pertimbangan Bukti putusan Pengadilan Agama yang disertakan para Tergugat ditepis hakim karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama di Luar Jawa dan Madura, Pengadilan Agama seharusnya hanya berwenang mengadili perkara waris jika dalam satu keluarga sama-sama beragama Islam. Hakim juga menegaskan hukum adat Nias menganut patrialkal (garis keturunan bapak). Yang merupakan ahli waris menurut hukum adat Nias adalah laki-laki berdasarkan garis keturunan ayah.
Walhasil, hakim mengabulkan gugatan para penggugat. Meskipun mereka berbeda agama dari pewaris, mereka tetap berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris sesuai dengan hukum adat Nias. Perkara ini diputus hakim TW Siregar pada 13 Agustus 1970, dan menjadi salah satu bagian dari putusan dalam buku Yurisprudensi Indonesia yang diterbitkan Mahkamah Agung pada 1975. Dalam perjalanannya, sudah ada banyak putusan Mahkamah Agung yang mengoreksi putusan-putusan yang mendiskriminasi perempuan dalam pembagian waris. Dalam ada beberapa putusan juga yang menyangkut pembagian waris jika dalam satu keluarga berbeda agama.
Mungkin saja selama empat puluh tahun terakhir sejak putusan PN Gunung Sitoli tersebut keluar, ada banyak putusan sejenis yang memperlihatkan dinamika hukum nasional. [11]
Cerai Tidak Menghapus Utang
Perceraian mengakibatkan banyak konsekuensi hukum. Salah satunya utang-piutang yang terjadi saat ikatan pernikahan masih berlangsung. Jika pasangan suami istri cerai, maka utang ditanggung siapa?
Salah satu kasus perceraian dengan meninggalkan hutang terjadi pada salah satu kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama (PA) Semarang. Sepasang suami istri Hendi (40) dan Heny (36) pada 2003, ketika mereka bercerai, mereka mempunyai utang senilai Rp 1 miliar, sehingga terjadi sengketa siapa yang menanggung utang tersebut. Lantas pada 6 September 2008 hakim membuat keputusan bahwa utang tersebut dilunasi dari harta gono-gini.
Hakim berpendapat utang yang dibuat oleh para pihak pada saat perkawinan sedang berlangsung, maka hutang tersebut menjadi beban dan tanggung jawab bersama, sehingga sita jaminan terhadap harta bersama (gono-gini) adalah sah dan berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama : Kumpulan
Tulisan, Cet. I; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997
Anderson, J.N.D., Islamic Law in Modern World, alih bahasa oleh Machnun Husain dengan judul : Hukum Islam di Dunia Modern, Cet. I; Surabaya : Amar Press, 1991
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966
Bisri, Cik Hasan, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,
Cet. I; Jakarta : Logos, 1998
Hanafi, Ahmad, Sejarah dan Pengantar Hukum Islam, Cet. IV; Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Harahap, M. Hahya, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mem- positifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (Peny.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqiin an Rab al-Alamin, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Jazuli, A., Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar, Cet. I; Bandung: Orba Shakti,
1991
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Syaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam dan Rele- vansinya dengan Pembangunan Hukum Nasional, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Yafie, Ali, Fikih Sosial, Cet. I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1994.
[1]Ali Yafi, Menggagas Fikih Sosial (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 132.
[2] A. Jazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar (Cet. I; Bandung: Orba Shakti, 1991), h. 54.