Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu.[37]
Pasal diatas melegalisasi hukum agama untuk pelaksanaan pernikahan, Sedangkan untuk masyarakat yang beragama islam di Indonesia hukum agama dalam pelaksanaan pernikahan adalah KHI. Dalam KHI pasal 1 huruf b. berbunyi
- Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
Petugas yang melaksanakan pernikahan TR dan RO adalah penghulu bukan pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama Maka pelaksanaan pernikahan TR dan RO dengan wali hakim seorang penghulu tidak sesuai dengan pasal 2 ayat 1. Penghulu tidak berhak menjadi wali hakim, yang berhak menjadi wali hakim adalah kepala KUA. Kata ‘yang diberi hak dan kewenangan’ dalam pasal 1 huruf (b) diatas adalah kepala KUA sebagaimana pasal 1 ayat 2 PMA nomor 30 tahun 2005. Berbunyi:
Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama (selanjutnya disebut KUA) Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.[38]
Jika ditarik simpulan, konklusi dari pasal pasal diatas maka, ‘Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan Wali hakim (kepala KUA) bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali’.
- Tidak sesuai UU nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2.
Peristiwa pernikahan dengan wali hakim dadakan, yang terjadi di desa kebon damar, juga tidak sesuai dengan pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[39]
Kata ‘dicatat’ dalam bunyi pasal diatas tersebut menurut peneliti adalah dicatat dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Undang Undang fungsinya adalah mengontrol syarat nikah secara administrasi juga mengontrol syarat nikah secara fikih munakahat, pada kenyataan yang terjadi di kebon damar ketentuan undang undang pasal 2 ayat 2 tidak terpenuhi.
Pencatatan pada pernikahan TR dan RO ini dicatatkan dengan wali nasab ayah kandung atas nama SG, sebagaimana yang tertulis dalam surat permohonan kehendak nikah (N1), bahwa SG adalah ayah kandung RO atau wali nasabnya. Yang pada sesungguhnya SG bukan wali nasabnya dari pengakuannya “tapi saya menikahi ibunya sudah hamil pak “, dan perkataannya “…saya merasa bukan saya ayahnya…”.
Pengertian nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad nikah yang sah. Dari keterangan tersebut, untuk dapat menghubungkan nasab seorang anak kepada ayahnya dibutuhkan 2 (dua) syarat, yaitu hubungan darah dan pernikahan yang sah. Bila hanya terdapat satu syarat, baik hubungan darah mampu akad pernikahan yang sah saja, nasab tidak dapat dihubungkan di antara seorang ayah dengan anaknya.
Ulama Mazhab sepakat bahwa dalam hal pernikahan yang sah, bila seseorang wanita melahirkan seorang anak, anak itu dapat dihubungkan nasabnya kepada suaminya dengan dua syarat harus terpenuhi. pertama anak tersebut lahir setelah berlalunya waktu enam bulan sejak terjadinya akad nikah menurut imam Hanafi, atau enam bulan sejak terjadinya persetubuhan suami istri menurut selain Hanafi, maka anak itu dapat dihubungkan nasabnya kepada suami wanita yang melahirkannya. Jika anak tersebut lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad atau dari persetubuhan suami istri, anak itu tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada suami wanita yang melahirkannya.[40]
Berbeda dengan pendapat para ulama madzhab tersebut, KHI tidak menjadikan tenggang waktu enam bulan sebagai dasar untuk menghubunkan nasab seorang anak kepada ayahnya. Karena menurut KHI kapan saja akad nikahnya dilangsungkan asalkan sebelum anak tersebut dilahirkan, maka anak yang ada dalam kandungan tersebut sah menjadi anak ayahnya[41]. Tetapi dengan catatan dalam pelaksanaan akad nikah wanita hamil tersebut yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya.[42]
Keadaan ini sebagaimana tertuang dalam KHI pasal 99 huruf (a) yang menyatakan bahwa ‘anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah’, sedangkan pasal 53 ayat 1 menyatakan bahwa, sahnya perkawinan wanita hamil yang dilakukan dengan pria yang menghamilinya.[43] Dengan demikian, hubungan nasab anak dengan ayahnya hanya ada bila yang menikahi wanita hamil itu laki laki yang menghamilinya.
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa RO ini bukan anak kandung dari SG, karena bukan SG yang menghamili EW. Keadaan ini dapat diketahui dari perkataannya “saya merasa bukan saya ayahnya”. Artinya bahwa RO dihasilkan sebelum adanya pernikahan yang sah antara SG dan EW, istrinya. Keadaan ini juga dikuatkan dengan surat keterangan lahir RO yang dikeluarkan bidan tidak mencantumkan SG sebagai bapaknya. [44]
- Solusi Terhadap Wali Hakim Dadakan
Dari analisis yang telah diterangkan dalam sub bab di atas maka solusi yang diberikan KUA Kecamatan Mataram Baru adalah
- Wali hakim force meajure, kejadian luar biasa
Berkaitan dengan tidak sesuaiannya dengan pasal 2 ayat 1 undang undang perkawinan, maka keadaan ini terpaksa dilaksanakan oleh penghulu, bukan pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama. Petugas yang berangkat menjadi pemeriksa pernikahan adalah penghulu. Jika penghulu yang bertugas pulang dari TKP dalam tugas memeriksa pernikahan tersebut, kemudian datang kepala KUA, selaku wali hakim untuk menggantikannya, akan menimbulkan pertanyaan kepada tamu undangan yang akhirnya terbongkar bahwa RO bukan anak SG. Keadaan ini yang di takutkan oleh bapaknya dengan ucapannya “…pokoknya jangan ada yang tau besan dan tamu tamu kita ini pak bahwa saya bukan bapaknya “
Untuk menjaga agar tidak terbongkar, bahwa RO bukan anaknya SG maka, penghulu yang melaksanakan pencatatan pernikahan wali hakim ini menjadi wakil dari kelapa KUA yang diserahkan (diwakilkan) lewat telepon “… ya udah saya wakilkan ke sampean wali hakimnya dan nikahkan saja…”. Hal ini menurut peneliti adalah keadaan kepala KUA kecamatan berhalangan dalam keadaan force meajure, kejadian luar biasa. Keadaan ini termaktub dalam surat edaran nomor B- 039/DJ.III.II/HK.00.7/1/2019 tertanggal 07 januari 2019, tanda tangan Direktur Jenderal.[45]
Dalam surat edaran tersebut membolehkan seorang penghulu menjadi wali hakim dalam keadaan kepala KUA berhalangan dengan alasan sakit yang tidak dapat beraktifitas atau dirawat, force meajure, dan ada tugas yang tidak bisa diwakilkan. Kejadian dalam keadaan ini menurut penulis adalah kejadian luar biasa atau force meajure.
- Kemaslahatan
Pencatatan dengan wali nasab tetapi dilaksanakan dengan wali hakim, atau tidak sesuai dengan pasal 2 ayat 2. KUA kecamatan Mataram Baru, dengan pertimbangan kemaslahatan melaksanakan pernikahan tersebut. Dalam data data administrasi sudah tertulis bahwa SG adalah bapak kandung RO, maka dituliskan dalam akta nikah dan buku nikahnya, SG sebagai wali nasab berdasarkan pertimbangan beberapa kemaslahatan antara lain:
- Memudahkan Administrasi
Penulisan dalam lembar pemeriksaan nikah, akta nikah dan buku nikah pada kolom wali tetap ditulis bapaknya yaitu SG, bukan wali hakim. Hal ini, jika dalam pemeriksaan nikah, akta nikah, dan buku nikah ditulis dengan wali hakim, maka mempelai ini harus merubah berkas pengantar nikahnya yaitu N1, KK akta kelahiran dan seterusnya. Keadaan ini akan menemukan kesulitan untuk RO, karena semua data administrasi dari mempelai perempuan sudah tertulis bahwa SG adalah orang tuanya. Merubah semua administrasi atau berkas dari pihak perempuan akan menyulitkan pengurusan administrasi yang lain. Tetapi menuliskan dalam pemeriksaan, akta dan buku nikah dengan wali ayahnya SG akan memudahkan administrasi bagi mempelai ini nantinya. Keadaan menghilangkan kesulitan yang lebih besar (merubah administrasi pengantin perempuan kepada wali hakim) lebih baik atau dihilangkan dengan membiarkannya atau menuliskannya tetap dengan wali orang tuanya, SG. Kaidah ushul fiqih berbunyi :