اَلضَّرَرُ الْأشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الأَخَفِّ

Mudharat yang lebih berat, harus dihilangkan dengan melakukan yang mudharat yang lebih ringan[46]

  1. Menjaga Mempelai Perempuan Tidak Syok

Menjaga agar RO atau mempelai perempuan tidak syok. Dari ungkapan walinya saat di Tanya petugas “apakah anaknya tahu keadaan ini pak?”. Maka jawab walinya “ tidak pak, ini sengaja tidak saya beri tahu karena takut anaknya syok dan pergi dari rumah“. Jika RO mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya maka kemungkinan akan terjadi madharat yang lebih besar (pergi dari rumah) dari pada RO tidak mengetahuinya. Dalam hal ini menghindari mafsadah lebih diutamakan dari pada mengambil manfaatnya. Sesuai dengan kaidah usul fikih

دَرْءُ المَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ

Menolak mafsadah (kemudharatan) lebih utama dari mengambil manfaat [47]

  1. Menjaga Martabat Keluarga Perempuan

Menutupi aib dari keluarga pengantin perempuan adalah menjaga martabat keluarga tersebut. Apabila petugas menyampaikan keadaan yang sebenarnya dari pengantin perempuan ini, maka akan jatuh martabat dari keluarga pengantin perempuan. Karena akan menimbulkan pertanyaan yang akhirnya akan membuka aib pengantin perempuan dan keluarganya. Jika petugas tidak menyampaikannya maka martabat keluarga perempuan ini akan terjaga.

Mafsadah yang lebih besar jika para tamu dan keluarga laki laki mengetahui keadaan martabat dari keluarga pengantin perempuan tersebut. Ketidaknyamanan dalam acara pesta tersebut akan terjadi, keadaan ini diketahui dari perkataan wali “… menurut saya jangan sekarang, nanti lama lama akan saya kasih tau…” ketika ditanya “apakah tidak sebaiknya dikasih tau aja?”

Aib keluarga pengantin perempuan akan terbuka dan diketahui para tamu undangan dan keluarga pengantin laki laki jika petugas menyampaikannya. Maka petugas tidak menyampaikannya dalam pemeriksaan berkas tersebut. Kaidah mengatakan:

إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

Apabila berbenturan antara dua hal yang membahayakan, maka harus dihilangkan mudharat yang paling besar meskipun harus mengerjakan mudharat yang lebih kecil[48]

  1. Menjaga Rahasia Keluarga Dari Tamu Undangan.

Menjaga rahasia keluarga mempelai perempuan dari tamu undangan. Perkataan walinya “… Pokoknya jangan ada yang tau besan dan tamu tamu kita ini pak bahwa saya bukan bapaknya…”. Menjaga rahasia keluarga mempelai perempuan dari tamu adalah hal yang sangat mulia. Salah satu cara petugas menjaga rahasia keluarga pengantin perempuan dari tamu undangan adalah, pada saat mulai akad nikah ternyata yang dihafalkan oleh manten laki laki adalah “aku terima nikahnya Rani Oktaviani binti Sugi dengan maskawin uang 332. 100 rupiah kontan” maka petugas merubah dengan lafal “aku terima nikahnya dengan maskawin tersebut” dengan dalih kalimat yang lebih pendek. Jika dalam akad nikah sighat qobul yang dipakai oleh mempelai laki laki adalah yang pertama atau dihafalkan oleh mempelai laki laki tersebut maka tidak sah akad nikah tersebut karena RO bukan anak perempuan dari (binti) SG. Hadis Nabi SAW berbunyi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

Artinya, “Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat.[49]

  1. Kesimpulan

Pernikahan dengan wali hakim dadakan yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru tidak sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan karena pernikahan yang terjadi dilaksanakan penghulu. Wali hakim tidak sah dilaksanakan oleh penghulu yang notabene bukan kepala KUA, maka tidak sesuai dengan ketentuan agama karena tidak sesuai dengan pasal 1 huruf (b) KHI, dan pasal 1 ayat 2, PMA nomor 30 tahun 2005 tentang wali hakim, tetapi dilaksanakan dengan surat edaran nomor B-039/DJ.III.II/HK.00.7/1/2019 tertanggal 07 januari 2019 dengan keadaan halangan kepala KUA yang diserahkan kepada penghulu atas alasan force meajure, keadaan luar biasa.

Pernikahan dengan wali hakim dadakan yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru tidak sesuai dengan pasal 2 ayat 2 Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan karena dicatatkan dengan wali nasab tetapi dilaksanakan dengan wali hakim. Saat pemeriksaan berkas nikah di KUA ketika pendaftaran, wali tidak terus terang bahwa pengantin perempuan bukan anaknya tapi anak orang lain, karena ada yang harus dirahasiakan menjaga beberapa kemungkinan kemudharatan yang lebih besar yang akan terjadi bila terus terang. Dengan inilah alasan KUA tetap melaksanakan pernikahan tersebut adapun hal hal yang dijaga adalah

  1. Memudahkan Administrasi
  2. Menjaga Pengantin Mempelai Tidak Syok
  3. Menjaga Martabat Keluarga Perempuan
  4. Menjaga Rahasia Keluarga dari Tamu Undangan

 

  1. Daftar Pustaka

Abd. Al Rahman Al Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Kairo: Dar al-Bayan al-‘Arabi) , tt., Juz 4.

 

Ahmad Bin Muhammad Az Zarqo, Syarah Al Qowaid Al Fiqihiyah, (Damaskud, Dar Al Qolam, Tt) Cet II.

 

Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad, Musnad Imam Ahmad ,(Darul Ihya At Turots Al Arobi, Tt ), juz 4.

 

kamus KBBI online “ dadakan” diakses dari https://kbbi.web.id/dadak.

 

Memed Humaidillah, Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, (Jakarta: Gema Insani, 2002).

 

Muhammad Bin Isa Bin Suroh, Sunan At Tirmizi Juz 3 (Darul  Kutub Al Ilmiyah Tt), juz 3.

 

Muhammad Bin Yazid Alquzwaini, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Ilmiyah Tt juz. II.

 

Muslim Bin Alhujjaj Al Qusoiri, Shohih Muslim (Dar Ihya Kutubul Arobiyah), juz. II.

 

Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan.

 

Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim.

 

Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat, Jilid III, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999).

 

Sulaiman Bin Asyats Al Sajastani,  Sunan  Abu Daud.(Maktabah Asriyah), juz 2.

 

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

 

Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan .

 

Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuh, Jilid 9 (Damaskus: Dar al Fikr al Muasir, 2007).

 

Zaenuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006).

Zainuddun Bin Ibrahim Bin Muhammad, Al Asybahu Wa Annazhair, (Beirut,Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1999), Cet.I.

 

[1] . WahbahAz Zuhaili, al-Fiqh al- Islami wa Adillatuh, Jilid 9 (Damaskus: Dar al Fikr al Muasir, 2007), h. 6690

[2] . Muhammad Bin Yazid Alquzwaini, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Ilmiyah Tt, juz 1 h. 605 no. 1881. Muhammad Bin Isa Bin Suroh, Sunan At Tirmizi Juz 3 (Darul  Kutub Al Ilmiyah Tt), juz 3, h. 407, no. 1101. Sulaiman Bin Asyats Al Sajastani,  Sunan  Abu Daud.(Maktabah Asriyah), juz 2 h. 229 no. 2085 dan Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad, Musnad Imam Ahmad  Juz 6  (Darul Ihya At Turots Al Arobi, Tt ), juz 4 h. 394 no. 19024.

[3] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi. Pasal 19, h. 22

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *