Dalam tertib wali nasab yang tersebutkan diatas, apabila wali yang berhak tidak memenuhi syarat maka kewenangan wali berpindah kepada kekerabatan selanjutnya sebagaimana diterangkan dalam pasal sesudahnya yaitu pasal 22 yang berbunyi:
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[12]
Kedua, adalah wali hakim. Sebelum masuk kepada tugas wali hakim yaitu pasal selanjutnya pasal 23 KHI, harus diketahui terlebih dahulu siapa wali hakim tersebut. Dalam KHI pasal 1 huruf (b) disebutkan:
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. [13]
Sejalan dengan batasan dalam pasal 1 huruf (b) diatas, dipertegas lagi dalam Peraturan Menteri Agama (selanjutnya disebut PMA) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang wali hakim. Dalam pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa:
Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama (selanjutnya disebut KUA) Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.[14]
Adapun mengenai penunjukan dan kedudukan wali hakim terdapat dalam pasal 3 PMA nomor 30 tahun 2005 yaitu yang berbunyi:
- Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) peraturan ini
- Apabila Kepala Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan atau, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu penghulu pada Kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
- Bagi daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh transportasi,maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Departemen Agama Kabupaten / Kota diberi kuasa atas nama Menteri Agama menunjuk pembantu penghulu pada kecamatan tersebut untuk sementara menjadi wali hakim pada wilayahnya.[15]
Berdasarkan pasal di atas yang bertindak sebagai wali hakim adalah kepala KUA yang mewilayahi kecamatannya. Apabila kepala KUA tersebut berhalangan maka Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam (kasi bimas) atas nama kepala kantor kementerian agama Kabupaten /kota dan atas nama Menteri Agama menyuruh salah satu penghulu pada kecamatan tersebut untuk bertindak sebagai wali hakim. Jika dalam kecamatan tersebut tidak ada penghulu selain kepala KUA nya maka penghulu kecamatan terdekat dengan kecamatan tersebut ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayah kecamatan tersebut. Dalam ayat (3) nya diterangkan lagi untuk wilayah terpencil yang sulit dijangkau transportasi kasi bimas menunjuk pembantu penghulu menjadi wali hakim. Artinya keberadaan wali hakim yang berhalangan masih bisa digantikan oleh penghulu dan pembantu penghulu.
Dengan demikian kedudukan wali hakim berdasarkan Undang undang perkawinan adalah sebagai pelaksana ijab akad nikah, dan merupakan pengganti wali nasab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh fikih munakahat dan KHI. Maka dapat difahami bahwa wali hakim mempunyai wewenang menikahkan perempuan demi hukum dan bukan sebagai wakil.
- Sebab Sebab Wali Hakim
Ada beberapa alasan yang menyebabkan wali hakim dapat menjalankan fungsinya sebagai wali nikah. Keadaan yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ke tangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan perundang undangan membenarkannya. Dalam KHI pasal 23 ayat (1) dituliskan:
“Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan”.[16]
Lebih rinci penetapan Wali Hakim diatur dalam Bab II pasal 2, ayat 1 PMA 30 tahun 2005 tentang penetapan wali hakim. Aturan tersebut berbunyi sebagai berikut:
- Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/ di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim, [17]
Sejalan dengan rincian dalam pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 di atas, dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (2) berbunyi :
- Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali, jika:
- wali nasab tidak ada;
- walinya adhal;
- walinya tidak diketahui keberadaannya;
- walinya tidak dapat dihadirkan/ditemui karena dipenjara;
- wali nasab tidak ada yang beragama Islam;
- walinya dalam keadaan berihram; dan
- wali yang menikahi wanita tersebut. [18]
Dari pasal 23 KHI dan pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 serta pasal 13 ayat 3 PMA 20 tahun 2019, dapat dipahami bahwa Beralihnya hak perwalian nasab kepada perwalian hakim ditentukan apabila adanya alasan alasan, sebagai berikut :
- Wali Nasab Tidak Ada
Dalam keadaan wali nasab tidak ada mempunyai dua makna, pertama, wali nasabnya sudah tidak ada dalam arti semua wali nasabnya dari yang disebutkan dalam KHI pasal 21, atau pasal 12 ayat (3) PMA 20 tahun 2019 sudah meninggal semua. Jika salah satu dari wali nasab yang tersebut dalam pasal 21 KHI dan PMA tahun 2019 pasal 3 ayat (3) diatas masih ada yang hidup maka wali hakim belum berhak sebagai wali nikah.
Kedua wali nasabnya tidak ada. Maksudnya pengantin perempuan tersebut adalah anak hasil di luar nikah atau anak tidak sah, yang secara hukum tidak mempunyai wali. Menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam KHI pasal 100 termaktub:
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[19]
KHI dalam hal ini lebih menegaskan bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka anak tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, sebab barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, wali nikahnya adalah wali hakim.
- Wali Nasabnya Enggal atau Adhal
Enggan atau Adhal artinya menolak. Dalam hal wali nasabnya menolak sebagai wali nikah dikarenakan tidak setuju kepada calon menantunya, atau alasan lain sehingga wali hakimlah yang menjadi wali nikahnya. Dalam kasus wali adhal ini ditegaskan dalam KHI pasal 23 ayat (2) dengan bunyi :
“ (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut “. [20]