Maksudnya ialah oleh karena perbuatan orang banyak selalu hendak menalak istrinya dengan talak tiga sekaligus, padahal seharusnya dalam hal ini mereka hendak bertindak perlahan-lahan, dan dipikirkan dengan mendalam tetapi mereka hendak terburu-buru juga, maka Umar menurutkan kehendak mereka itu dengan menetapkannya. Artinya orang yang menalak istrinya tiga sekaligus langsung ditetapkan tiga, bukan satu. Demikianlah Ulama madzhab menetapkan pendapat itu, hanya Abu Hanifah yang mengatakan , bahwa talak seperti itu haram hukumnya, tetapi dianggapnya juga talak tiga.[7]
Menurut Shi’iah Imamiyah talak yang diucapkan tiga sekaligus tidak dapat menjatuhkan talak walaupun satu talak. Sedangkan menurut al-Zaydiyah, Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim, adalah jatuh talak satu. Lebih lanjut menurut pendapat Shi’iah Imamiyah dan mereka yang sepakat dengan pendapatnya bahwa merupakan suatu kewajiban untuk kembali kepada al-Sunnah dan menolak ijtihad yang dilakukan oleh ‘Umar Bin al-Khattab karena melakukan talak tiga sekaligus merupakan tindakan membatalkan rukhsah dan pertolongan yang telah diberikan oleh Allah.[8]
لطَّلَاقُمَرَّتٰنِۖفَإِمْسَاكٌبِمَعْرُوْفٍأَوْتَسْرِيْحٌبِإِحْسَانٍۗوَلَايَحِلُّلَكُمْأَنْتَأْخُذُوْامِمَّااٰتَيْتُمُوْهُنَّشَيْئًاإِلَّاأَنْيَّخَافَاأَلَّايُقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۗفَإِنْخِفْتُمْأَلَّايُقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۙفَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَافِيْمَاافْتَدَتْبِهٖۗتِلْكَحُدُوْدُاللّٰهِفَلَاتَعْتَدُوْهَاۚوَمَنْيَّتَعَدَّحُدُوْدَاللّٰهِفَأُولٰئِكَهُمُالظّٰلِمُوْنَ
Penjelasan ayat ini ditujukan kepada suami, artinya tidak halal bagi mereka itu mengambil kembali apa-apa yang sudah diserahkannya kepada istrinya, seperti mahar walaupun sedikit, dengan maksud hendak memberikan mudharat kepada istrinya itu.
Zuhayly, mengemukakan bahwa talak adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah yang tidak dishari’atkan kecuali karena darurat. Jika hal tersebut terjadi, maka suami haram mengambil kembali apa yang telah ia berikan baik mahar atau yang lainnya ( ولايحللكمأنتأخذوامماءاتيتموهنشيئا). Justru suami berkewajiban memberi hadiah berupa materi atau uang kepada isteri sebagai tambahan atas hak-haknya.Berdasarkan Firman Allah Surah al-Ahzab : 49
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواإِذَانَكَحْتُمُالْمُؤْمِنَاتِثُمَّطَلَّقْتُمُوهُنَّمِنْقَبْلِأَنْتَمَسُّوهُنَّفَمَالَكُمْعَلَيْهِنَّمِنْعِدَّةٍتَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّوَسَرِّحُوهُنَّسَرَاحًاجَمِيلًا
“Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
- Khuluk
Dalam ayat 229 ini Allah juga memperbolehkan sang isteri memmberikan sesuatu kepada suaminya sebagai imbalan perceraian atau khulu’ (فلاجناحعليهمافيماافتدتبه).
Apa yang dimaksud dengan “tebusan talak” atau khulu’ ? yaitu si istri meminta kepada suaminya supaya dia diceraikan dan dia bersedia membayar uang tebusan cerai itu. Dalam hal ini fuqaha dan ulama khalaf berbeda pendapat mengenai pembayaran khulu’ itu.
Menurut Jumhur Ulama, boleh melakukan khulu’ dengan memberikan tebusan lebih besar dari mahar yang diberikan suami kepadanya. Menurut Hanafiyah hal tersebut dimakruhkan. Sedangkan golongan Shi’ah, al-Zuhry, Hasan al-Basry tidak memperbolehkan khulu’ dengan memberikan lebih dari mahar yang diberikan suami kepada isteri. Imam Shafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa khulu’ adalah mubah dan bagi si laki-laki berhak atas mahar mithil nya si wanita itu.[9]
Menurut riwayat yang diterima dari Ali, dia memakruhkan menerima tebusan talak itu lebih besar dari mahar yang telah diberikannya kepada istri. Demikian qoul Said Ibnu Musayyab, Hasan, Thawus, Said bin Zubair. Menurut yang diriwayatkan dari Umar , Usman, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahhid, Ibrahim dan Hasan, mereka membolehkan mengambil lebih besar dari apa yang telah diberikannnya.
Abu Hanifah, Zufar, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata, jika nusyuz itu terjadi dari pihak perempuan, maka halal bagi laki-laki mengambil kembali sebanyak yang telah diberikannya, tapi jangan lebih. Tetapi kalau kesalahan terjadi dari pihak laki-laki, tidak halal bagi laki-laki itu mengambil sedikitpun juga dari istrinya.
Ibnu Qasim menyatakan pendapat yang diperolehnya dari Malik, boleh laki-laki mengambil pembayaran khulu’ lebih besar dari apa yang telah diberikannya dan halal baginya. Begitu juga walaupun kesalahan itu sengaja datang dari laki-laki, maka halal baginya mengambil pembayaran khulu’ itu, jika perempuan ridha dan tidak merasa berat. Menurut Tsauri, jika khulu’ itu atas kemauan perempuan, maka halal bagi laki-laki mengambilnya, seperti juga khulu’ itu terbit dari dari pihak laki-laki tidak halal baginya mengambil apapun dari perempuan itu. Sedangkan menurut Syafi’i, jika perempuan itu tidak menunaikan kewajibannya terhadap suaminya, halal tebusan talak itu bagi suaminya.
Menurut Ulama’ jumhur, jama’ah dari sahabat dan tabi’in, iddah perempuan khulu’ sama seperti iddah talak. Menurut Tirmidzi, demikian perkataan kebanyaan ahli ilmu,terdiri dari para sahabat, tabi’in dan lain-lain. mereka menerangkan bahwa perempuan yang di-khulu’ itu termasuk perempuan yang ditalak, menurut umumnya ayat Al-Quran.[10]
فَإِنْطَلَّقَهَافَلَاتَحِلُّلَهٗمِنْبَعْدُحَتّٰىتَنْكِحَزَوْجًاغَيْرَهٗۗفَإِنْطَلَّقَهَافَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَاأَنْيَّتَرَاجَعَاإِنْظَنَّاأَنْيُّقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۗوَتِلْكَحُدُوْدُاللّٰهِيُبَيِّنُهَالِقَوْمٍيَّعْلَمُوْنَ
Ayat ini menunjukkan bahwa setelah terjadinya talak yang ketiga maka tidak dapat dirujuk kembali. Rujuk dan khulu’ hanya dapat dilakukan sebelum terjadinya talak yang ketiga. Lebih jelasnya, jika suami memilih untuk menceraikan isterinya dengan perceraian yang tidak ada lagi kesempatan rujuk (talak ketiga), maka bekas isterinya itu tidak halal baginya untuk dinikahi sampai bekas isteri tersebut menikah dengan pria yang lain, selain bekas suami yang pertama.
“maka jika sudah ditalaknya (oleh suami yang kedua), tidaklah dosa bagi mereka berdua untuk menikah kembali.” Ayat ini menegaskan bahwa perempuan yang telah dicerai dengan talak tiga, tidak boleh kembali kepada bekas suaminya itu, sehingga dia kawin lebih dahulu dengan laki-laki lain dengan sah dang sudah bercampur, seperti yang telah diterangkan diatas. Adapun perkawinannya dengan suami yang kedua itu, seandainya hanya bermaksud supaya dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama maka perkawinan itu dinamakan “al-muhallil wal muhalla lahu”, atau yang lebih populer dalam ungkapan bahasa Indonesia perkawinan “cina buta”. Rasuullah mengumpamakan laki-laki yang berbuat seperti itu seperti kambing pinjaman, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Uqbah bin Amir, yang artinya : “belumkah aku ceritakan kepadamu tentang kambing pinjaman ?mereka menjawab belum. Maka kata Rasul pula,itulah dia Muhallil. Allah mengutuk muhallil dan muhallal lahu.”
Selain ini banyak lagi hadist yang menunjukkan bahwa perbuatan Muhallil itu termasuk dosa besar, karena dia adalah perbuatan yang terkutuk.
Menurut Abu Tsaur, Syafi’i dan golongan Hanafiyah, muhallil yang merusakkan pernikahan ialah apabila dalam pernikahan itu ada disyaratkan perceraian sesudah itu, supaya perempuan itu dapat kembali kawin kepada suaminya yang pertama. Tetapi jika dalam pernikahan itu tidak ada disyaratkan demikian, maka akad nikah itu adalah sah dan tidak termasuk di dalam asal muhallil ini.[11]