TRADISI MUDIK DAN HALAL BIHALAL DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH

TRADISI MUDIK DAN HALAL BIHALAL DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH

  • Mendapat ridho kebaikan dari Allah SWT
  • Membuat gembira sanak saudara
  • Silaturahim merupakan kegiatan yang akan menggembirakan malaikat
  • Mendapat pujian baik dari orang muslim
  • Menyusahkan iblis menggoda manusia
  • Menambah umur panjang bagi siapa pun yang melakukan
  • Memberikan limpahan berkah dalam rezeki
  • Menggembirakan orang-orang yang meninggal dunia
  • Mempererat tali persaudaraan antar manusia
  • Menambah pahala setelah meninggal karena banyak sanak saudara yang selalu mendoakan
  1. Mudik dan Halal Bihalal Dalam Perspektif Maqashid al-Syari’iyah

      Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang artinya “maksud dan tujuan”. Sedangkan syariah bermakna “hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menuliskan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah Jilid II mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan syariat adalah demi terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, penetapan hukum harus mengarah pada terwujudnya tujuan tersebut. Lebih lanjut, Al-Syatibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama (Hifdzu al-Diin), jiwa (Hifdzu al-Nafs), akal (Hifdzu al-‘Aql), keturunan (Hifdzu al-Nasl), dan harta (Hifdzu al-Maal).

     Menyikapi fenomena mudik lebaran di Indonesia memang unik, menarik dan jarang ditemukan di negara lain serta menimbulkan dampak yang luar biasa, yang menjadi pertanyaan adalah apakah mudik ini berkaitan dengan tradisi yang diatur dan terdapat dalam Islam?

        Jika yang dipakai adalah ajaran baku di agama Islam, tentu tidak ada ajaran Islam yang meminta umatnya untuk mudik saat Lebaran. Tapi Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga tali silaturahim dengan sesama manusia. Terlebih menjaga tali silaturahim dengan kerabat dan sanak saudara. Pola mudik akhirnya pada akhirnya tidak hanya berhenti hanya sekedar pulang kampung saja. Mudik dalam perkembangannya akhirnya berpadu dengan tradisi halal bi halal, yang sudah ada sebelum maraknya istilah ‘Mudik Lebaran’. Dalam masyarakat Jawa tradisi halal bi halal dilakukan dalam bentuk ‘Sungkeman’ atau duduk bersujud meminta maaf. ‘Sungkeman‘ ini sebenarnya juga merupakan pengejawantahan dari ajaran Islam untuk bermaaf-maafan. Sungkeman dimulai dari sungkem kepada ibu/bapak, dilanjutkan dengan sungkem dari saudara yang muda kepada yang lebih tua.

     Dalam konteks yang lebih umum, tradisi halal bi halal ini dilakukan dengan saling menyambangi orang tua atau orang yang secara hirarkhi dianggap lebih tinggi. Tentu hirarkhi dalam konteks ini bukan sekadar kedudukan sosial atau jabatan. Tapi juga hirarkhi dari sisi umur. Orang muda akan mendatangi orang yang lebih tua. Melongok dari catatan-catatan tersebut bisa dikatakan ‘Mudik Lebaran’ bukanlah budaya yang diimpor dari Arab. Mudik Lebaran adalah budaya yang asli tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sebuah budaya yang lahir dari perpaduan nilai dan tradisi yang sudah ada di masyarakat Indonesia.Tidak heran sekalipun momentum mudik ini terjadi pada saat perayaan hari raya umat muslim, yaitu Idul Fitri, pelaku mudik tidak hanya umat Islam. Penganut agama lain pun juga menjadi ‘Pemudik’ saat Lebaran.

      Tujuan masyarakat Indonesia yang melaksanakan mudik adalah untuk menghubungkan tali silaurrahmi dan saling memaafkan yang dibingkai dalam kegiatan yang sudah menjadi tradisi yang baik yaitu tradisi Halal bihalal. Silaturrahmi dan Saling memaafkan adalah bagian dari ajaran Islam dan sangat diperintahkan oleh agama kita serta sebagai upaya kita dalam menjaga, mempertahankan dan mensyiarkan nilai-nilai ajaran agama kita, yang dalam Maqashid al-Syari’ah disebut dengan menjaga agama (Hifdzu al-Diin). Dalam Al Quran, Allah memerintahkan kita untuk saling memaafkan.“Jadilah pemaaf dan anjurkanlah orang berbuat baik, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A`raf: 199). Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:

وَالَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُوْنَ سُوْۤءَ الْحِسَابِۗ

      Artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Ar Ra’du: 21).

      Ibnu Katsir menerangkan mengenai ayat tersebut yakni perintah Allah SWT agar menjalin silaturahmi, berbuat baik kepada kaum kerabat dan sanak famili, juga kepada kaum fakir miskin, orang-orang yang memerlukan bantuan, dan mendermakan kebajikan. Mereka (orang-orang beriman) itu takut kepada Tuhannya. Dalam surat lain, Allah SWT melaknat orang-orang yang suka memutus tali silaturahmi sebagaimana dalam firman-Nya : أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ, Artinya: “Kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. (QS. Muhammad: 22). Yaitu kalian akan kembali kepada kejahiliahan kalian di masa silam dengan membiarkan darah mengalir dan terputusnya hubungan kekeluargaan? Karena itulah dalam firman Allah SWT berikutnya disebutkan: أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ , Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang dilaknati oleh Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka” (QS. Muhammad: 23). Larangan membuat kerusakan di muka bumi ini bersifat umum dan larangan memutuskan hubungan kekeluargaan bersifat khusus, bahkan Allah memerintahkan untuk berbuat kebaikan di muka bumi dan menghubungkan tali persaudaraan, yaitu dengan berbuat baik kepada kaum kerabat melalui ucapan dan perbuatan serta bersedekah kepada mereka.

       Sementara itu, di hadits-hadits Rasulullah SAW banyak disebutkan tentang penting dan manfaat silaturrahmi, diantaranya:

صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَأَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ وَأَعْرِضْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ

    Artinya: “Sambunglah orang yang memutuskan (hubungan dengan)mu, berilah kepada orang yang tidak memberi kepadamu, dan berpalinglah dari orang yang berbuat zalim kepadamu.” (HR Ahmad).

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يُدَّخَرُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ

    Artinya: “Tidak ada dosa yang Allah SWT lebih percepat siksaan kepada pelakunya di dunia, serta yang tersimpan untuknya di akhirat selain perbuatan zalim dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR Tirmidzi).

وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّه صلى الله عليه و سلم : “لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ” يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

    Artinya: “Dari Jubair bin Muth‘im ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim.” (HR.Muttafaqun ‘alaih).

الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

    Artinya: “Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah, dan terhadap keluarga sendiri mendapat dua pahala: sedekah dan silaturahmi.” (HR Tirmidzi).

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

     Artinya: “Dari Ibnu Syihab dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari).

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *