Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali yang lebih dekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat menjadi wali dan boleh jadi pindah kepada wali yang lebih jauh. Apabila wali yang lebih dekat sedang berpergian atau tidak di tempat, maka wali yang jauh hanya dapat menjadi wali apabila telah mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat. jika pemberi kuasa tidak ada maka hak perwalian pindah kepada wali hakim.

Beralihnya hak perwalian kepada wali hakim ditentukan apabila memang seluruh urutan tertib wali nasab sudah tidak ada atau masih ada tetapi pada urutan paling dekat dari jajaran wali nasab tersebut ternyata terdapat halangan untuk melaksanakannya. Sebagai gambaran mengenai berpindahnya wali nasab kepada wali hakim, misalnya Ikhwan adalah wali nikah bagi calon mempelai yang bernama Nisa, dengan kedudukan sebagai saudara kandung. Ikhwan mempunyai halangan menjadi wali, karena dipenjara sehingga tidak mungkin untuk menghadirkannya, dan tidak bisa bertindak melaksanakan haknya sebagai wali nikah. Dalam kejadian seperti ini, hak walinya tidak beralih kepada paman sebagai wali sesudahnya, akan tetapi yang bertindak menjadi wali adalah pemerintah atau wali hakim. Alasan lain yang menjadikan wali hakim bertindak sebagai wali nikah sekalipun wali masih ada, adalah jika wali yang terdekat (akrab) sedang ihram, atau tidak mau menjadi wali atau enggan untuk menikahkan atau wali itu sendiri yang hendak  menikahi perempuan tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa wali hakim dalam fungsinya sebagai wali nikah adalah menggantikan wali nasab. Artinya selama wali nasab tidak  mempunyai halangan atau tidak kehilangan haknya sebagai wali nikah, wali hakim tidak boleh dan tidak berhak menikahkan atau menjadi wali nikah. Kewenangan wali hakim sebagai wali nikah merupakan kewenangan dari fikih munakahat yang diberikan kepada Pemimpin atau Kepala Negara yang berfungsi sebagai pengganti wali nasab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh hukum.

Fikih munakahat adalah rujukan dalam ketentuan KHI. Pernikahan yang dilaksanakan dengan wali hakim dipandang sah oleh KHI, sepanjang perpindahan hak wali nasab ke wali hakim tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KHI. Maka pandangan fiqih munakahat tentang peralihan hak perwalian dalam pernikahan dari wali nasab ke wali hakim merupakan ketentuan hukum darurat, atau dengan kata lain berfungsinya wali hakim sebagai wali nikah dipandang sebagai hukum darurat. Jika demikian pandangan fiqih munakahat, maka demikian pulalah pandangan KHI, sebab apa yang dipandang sah oleh fiqih munakahat tentang wali hakim maka pandangan sah juga oleh KHI.

Dengan demikian kedudukan wali hakim berdasarkan Undang undang perkawinan adalah sebagai pelaksana ijab dalam akad nikah, dan merupakan pengganti wali nasab atau wali aqrab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh fikih munakahat. Seperti halangan halangan internal atau bersifat pribadi dari wali tersebut, karena wali tersebut adhal (enggan dan menolak untuk menikahkan mempelai wanita). Ataupun karena halangan eksternal dari wali tersebut disebabkan mafqud (tidak diketahui keberadaannya), atau dikarenakan sakit, wafat, jauh dari lokasi pernikahan, atau belum memenuhi syarat syarat wali yang telah ditetapkan dalam fikih munakahat dan KHI, seperti belum baligh, atau dikarenakan wali tersebut gila.

Kemudian Dalam Pasal 20 menerangkan syarat seorang wali nikah. Artinya setelah adanya wali dalam pernikahan, tidak semata mata langsung menjadi wali tetapi masih ada syarat yang diperlukan dalam seseorang menjadi wali pernikahan tersebut. Yaitu beragam islam, sehat akalnya, dan dewasa. Sebagaimana  bunyi pasalnya yang menerangkan syarat wali tersebut yaitu :

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari:

  1. Wali nasab;
  2. Wali hakim.[12]

Dalam ayat 2 pasal 20 diatas menyebutkan bahwa wali terbagi menjadi dua macam pertama wali nasab. Sebagaimana akan diterangkan dalam pasal selanjutnya. Pasal 21 berbunyi:

  1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

  1. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
  2. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
  3. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.[13]

Pasal 21 diatas menerangkan siapa saja wali nasab yang berhak menjadi wali nikah, dalam ayat 1 disebutkan secara global bahwa kewenangan wali nasab pertama di tangan kerabat laki laki dan garis lurus keatas. Lalu diiringi dengan kerabat saudara kandung atau saudara seayah dan garis keturunan mereka, kemudian kerabat paman atau saudara ayah kandung dan saudara ayah seayah dilanjutkan dengan keturunan mereka. Yang terakhir dari wali nasab adalah paman ayah kandung atau saudara kandung kakek atau saudara seayah kakek dan garis keturunan mereka.

Pasal 12 ayat (3) diatas dari huruf (a) sampai dengan huruf (c) adalah penjelasan dari kelompok pertama dari pasal 21 KHI diatas. Artinya bapak kakek dan buyut adalah kelompok kekerabatan garis lurus keatas. Kemudian dalam huruf (d) sampai huruf (g) adalah garis kekerabatan kesamping dan merupakan garis lurus ke samping. Sementara dari huruf (h) sampai dengan huruf (m) adalah garis kekerabatan saudara ayah kandung dan saudara ayah seayah serta garis keturunan mereka. Terakhir dari huruf (n) sampai dengan huruf (q) adalah garis kekerabatan saudara kakek kandung dan kekerabatan saudara kakek seayah dan garis keturunan mereka.

  1. Wali Hakim

Kedua, adalah wali hakim. Sebelum masuk kepada tugas wali hakim yaitu pasal selanjutnya pasal 23 KHI, harus diketahui terlebih dahulu siapa wali hakim tersebut. Dalam KHI pasal 1 huruf (b) disebutkan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *