Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.[14]

Adapun   mengenai   penunjukan   dan   kedudukan   wali   hakim terdapat dalam pasal 3 PMA nomor 30 tahun 2005 yaitu yang berbunyi:

  1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang  bersangkutan  ditunjuk  menjadi  wali  hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) peraturan ini
  2. Apabila Kepala Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan atau, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu penghulu pada Kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
  3. Bagi daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh transportasi,maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa atas nama Menteri Agama menunjuk pembantu penghulu pada kecamatan tersebut untuk sementara menjadi wali hakim pada wilayahnya.[15]

Berdasarkan pasal di atas yang bertindak sebagai wali hakim adalah kepala KUA yang mewilayahi kecamatannya. Apabila kepala KUA tersebut berhalangan maka Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam (kasi bimas) atas nama kepala kantor kementerian agama Kabupaten /kota dan atas nama Menteri Agama menyuruh salah satu penghulu pada kecamatan tersebut untuk bertindak sebagai wali hakim. Jika dalam kecamatan tersebut tidak ada penghulu selain kepala KUA nya maka penghulu kecamatan terdekat dengan kecamatan tersebut ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayah kecamatan tersebut. Dalam ayat (3) nya diterangkan lagi untuk wilayah terpencil yang sulit dijangkau transportasi kasi bimas menunjuk pembantu penghulu menjadi wali hakim. Artinya keberadaan wali hakim yang berhalangan masih bisa digantikan oleh penghulu dan pembantu penghulu.

Dengan demikian kedudukan wali hakim berdasarkan Undang undang perkawinan adalah sebagai pelaksana ijab akad nikah, dan merupakan pengganti wali nasab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh fikih munakahat dan KHI. Maka dapat dipahami bahwa wali hakim mempunyai wewenang menikahkan perempuan demi hukum dan bukan sebagai wakil.

  1. Sebab Sebab Wali Hakim

Ada beberapa alasan yang menyebabkan wali hakim dapat menjalankan fungsinya sebagai wali nikah. Keadaan yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ke tangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan perundang undangan membenarkannya. Dalam KHI pasal 23 ayat (1) dituliskan:

“Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan”.[16]

Lebih rinci penetapan Wali Hakim diatur dalam Bab II pasal 2, ayat 1 PMA 30 tahun 2005 tentang penetapan wali hakim. Aturan tersebut berbunyi sebagai berikut:

Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/ di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim,[17]

Sejalan dengan rincian dalam pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 di atas, dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (2) berbunyi :

Wali hakim sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali, jika:

  • . wali nasab tidak ada;
  1. walinya adhal;
  2. walinya tidak diketahui keberadaannya;
  3. walinya  tidak  dapat  dihadirkan/ditemui  karena dipenjara;
  4. wali nasab tidak ada yang beragama Islam;
  5. walinya dalam keadaan berihram; dan
  6. wali yang menikahi wanita tersebut. [18]

Dari pasal 23 KHI dan pasal 2 ayat 1  PMA 30 tahun 2005 serta pasal 13 ayat 3 PMA 20 tahun 2019, dapat dipahami bahwa Beralihnya Hak Perwalian nasab  kepada perwalian hakim ditentukan apabila adanya alasan alasan, sebagai berikut :

  1. Wali Nasab Tidak Ada

Dalam keadaan wali nasab tidak ada mempunyai dua makna, pertama, wali nasabnya sudah tidak ada dalam arti semua wali nasabnya dari yang disebutkan dalam KHI pasal 21, atau pasal 12 ayat (3) PMA 20 tahun 2019 sudah meninggal semua. Jika salah satu dari wali nasab yang tersebut dalam pasal 21 KHI dan PMA tahun 2019 pasal 3 ayat (3) diatas masih ada yang hidup maka wali hakim belum berhak sebagai wali nikah.

Kedua wali nasabnya tidak ada. Maksudnya pengantin perempuan tersebut adalah anak hasil di luar nikah atau anak tidak sah, yang secara hukum tidak mempunyai wali. Menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam KHI pasal 100 ter maktub:

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[19]

KHI dalam hal ini lebih menegaskan bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka anak tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, sebab barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, wali nikahnya adalah wali hakim.

  1. Wali Nasab Enggan atau Adhlal

Enggan atau Adhal artinya menolak. Dalam hal wali nasabnya menolak sebagai wali nikah dikarenakan tidak setuju kepada calon menantunya, atau alasan lain sehingga wali hakimlah yang menjadi wali nikahnya. Dalam kasus wali adhal ini ditegaskan dalam KHI pasal 23 ayat (2) dengan bunyi :

“ Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut “.[20]

Dipertegas petunjuk teknisnya oleh PMA 30 tahun 2005 tentang wali hakim dalam pasal 2 ayat (2)

“Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan pengadilan agama / mahkamah syariah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita”. [21]

Dan juga dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (4)

”Wali adhal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b) ditetapkan oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.[22]

Untuk menjaga keseragaman dalam penentuan wali hakim dalam hal keengganan wali, maka yang ditempuh pemerintah adalah dengan menyatakan adanya keputusan dari Pengadilan Agama. Dalam fikih munakahat para ulama berbeda pendapat dalam menentukan wali dalam hal ke-adhal-an ini, serta mempunyai syarat syarat masing masing.

Dalam pelaksanaan wali hakim dengan adhalnya wali nasab, pihak KUA masih meminta kembali kepada wali nasabnya untuk menikahkan mempelai tersebut walaupun sudah ada penetapan wali adhal, keadaan ini dimaktubkan dalam Bab IV akad nikah pasal 5 PMA nomor 30 tahun 2005 dengan bunyi :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *